Thursday, January 24, 2013
Spiritualis Sebagai Aset Baru di Tubuh Organisasi Sukses Oleh: Dr. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, M.M
Abstraksi
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna jika dibandingkan dengan
makhluk-makhluk yang lain. Di samping bentuk fisiknya yang indah, ketinggian
derajatnya dikarenakan ia beri akal fikiran serta kesadaran akan dirinya hingga
mampu memberdayakan potensi fitrahnya sebagai manusia yang beriman dan beramal
saleh. Kondisi semacam ini mengangkat dirinya memiliki predikat sebagai
Abdullah dan sekaligus Khalifah Allah.
Kesempurnaannya sebagai manusia nan ideal ini dikarenakan sebagai insan
yang beriman hatinya senanti dekat dan hadir di hapan Allah sedang di sisi lain
ia tetap melaksanakan tugas mengelola, melestarikan alam dan menjalin interaksi
dengan sesama manusia. Ia menjadi sosok yang berenergi dan semangat untuk
berkarya dengan disiplin yang tinggi, dinamis, dan optimis dalam menjalani
kehidupan di dunia sebagai realisasi pengabdiannya kepada Allah. Ia merupakan
sosok manusia yang bertakwa sejati.
Melihat kondisi spiritualis seperti uraian di atas maka sangat patut dan
seyogyanya para spiritualis dijadikan sebuah aset untuk dimiliki dan
dikembangkan di tubuh organisasi apa saja yang menginginkan kesuksesan.
Kata Kunci:
Spiritualis, Aset, Organisasi.
A.
Pendahuluan.
Manusia sempurna ini sejatinya predikat yang dimiliki
para spiritualis akhibat dari kedalaman dimensi esoterik yang dimilikinya.
Manusia yang menyandang predikat di atas (the perfect man/insan kamil)
merupakan sosok spiritualis yang dari dalam dirinya terpancar sifat dan asma
Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu
keberadaan manusia sempurna (the perfect man/insan kamil) di dunia ini
sesungguhnya dipandang sebagai khalifah Allah dan merupakan pengganti-Nya untuk
menjadi penguasa, mengelola dan melestarikan alam ini agar terjadi kelangsungan
hidup yang damai, aman, sejahtera yang penuh rahmat Allah.
Untuk itu dalam realita empirik, manusia sempurna (the
perfect man/insan kamil) ini akan menjadi fenomena dan paradigma baru
mewarnai dan muncul dalam tubuh organisasi modern baik pada level lokal,
nasional bahkan internasional. Mereka menjadi sadar bahwa terwujudnya diri
menjadi manusia yang sempurna menjadi kebutuhan dan dambaan setiap manusia.
Predikat sebagai manusia yang sempurna nan ideal tentu tidak akan mampu
dimiliki manusia jika ia tidak mampu memberdayakan potensi dirinya sebagai
makhluk religius yang spiritualis.
Spiritualis sebagai manusia sempurna ini akan
senanatiasa mengarahkan dirinya agar tidak tejerembab dalam alam metafisik an
sich tanpa mau merubah untuk menuju sikap yang lebih berorientasi ke
realita empirik. Hatinya tetap hadir di hadapan Allah sedang secara lahiriyah
ia tetap bersemangat untuk berkarya dengan disiplin yang tinggi karena ia sadar
akan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Untuk itu manusia sempurna (the perfect man/insan
kamil) ini bisa dibilang sebagai manusia yang ideal. Dalam dirinya
terinternalisasi sifat dan Asma Allah yang akan terefleksikan dalam kesadaran
murni akan peranannya untuk menjadi manusia yang kreatif, dinamis, dan
senantiasa berkarya untuk memberi kemanfaatan tidak hanya untuk dirinya pribadi
tetapi lebih luas mampu memberi makna yang berarti untuk seluruh makhluk.
B.
Pembahasan.
1.
Islam dan spiritualitas
Sebelum uraian tentang Islam dan spiritualitas dibahas
lebih mendalam nampaknya perlu diketahu terlebih dahulu makna spiritualitas itu
sendiri. Spiritualitas dalam bahasa Inggris Spirituality, yang berasal
dari kata spirit berarti roh atau jiwa. Adapun dalam aplikasinya
spiritualitas adalah dorongan bagi seluruh tindakan manusia. (Ahmad Suaedy, 2004:
202)[1] Spiritualitas
sesungguhnya mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhannya. (M. Uhaib
As’ad dan M. Harun al-Rosyid, 2004: 340)[2] Pemaknaan ini
kemudian diintroduksi oleh nyaris seluruh pemikir spiritual dalam pemahaman
makna keyakinan-keyakinan dalam konteks sosial mereka. (Bryan S. Turner, 1991:
17)[3] Adapun pada konteks
keislaman hubungan manusia dengan Tuhan ini dapat dilakukan dengan menggunakan
instrumen (medium) salat, puasa, zakat, haji, do’a dan yang lainnya.(M. Uhaib
As’ad dan M. Harun al-Rosyid, 2004: 340)[4]
Tobroni (2005: 19-20) dalam hal ini juga menjelaskan
bahwa spiritualitas adalah aktivitas manusia yang bermuara kepada kehakikian,
keabadian, dan ruh, bukan bersifat sementara. Dalam perspektif Islam, spiritualitas senantiasa berkaitan langsung dengan
realitas Ilahi. Spiritualitas
bukan sesuatu yang asing bagi manusia, karena merupakan inti kemanusiaan itu
sendiri. Hal ini karena dalam diri manusia ada dua unsur yakni jasmani dan
ruhani.[5]
Islam
sesungguhnya agama yang mengajarkan tidak hanya menyangkut lahiriyah semata.
Perihal yang menyangkut spiritualitas mendapat perhatian pula. Menurut Harun
Nasution, spiritualitas yang dilakukan seseorang mempunyai tujuan memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Intisarinya adalah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan. (Harun Nasution, 1973:
56)[6] Untuk itu sejatinya Islam
ini merupakan ajaran bersumber dari wahyu yang sarat dengan nilai spiritual
karena diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. (Choiruddin Hadhiri SP, 1994:
201-2, 205-6)[7] Hal ini terbukti banyak ayat yang menjelaskan
hubungan manusia dengan Tuhannya karena hal ini merupakan fitrah insani. (Choiruddin
Hadhiri SP, 1994: 33)[8]
Dalam hal
ini Hadiri (1994) mengklasifikasi paling tidak ada sebelas ayat dalam enam
surat yang membahas bahwa al-Qur’an berasal dari Allah Swt, salah satu di
antaranya terdapat dalam al-Qur’an, 13 (ar-Ra’d): 1. Selanjutnya Hadhiri SP
juga mengklasifikasi sedikitnya ada dua belas ayat dalam empat surat yang
menjelaskan bahwa al-Qur’an bukan buatan Muhammad Saw. Demikian pula keummian
Muhammad juga menunjukkan bahwa al-Qur’an berasal dari Allah yang dibawa turun
oleh Jibril ke dalam hati Nabi Muhammad atau Jibril menampakkan rupa aslinya
dan menjelma berupa orang laki-laki.
Disadari atau tidak sesungguhnya manusia akan
merindukan Sang Pencipta dan Pelindungnya. (al-Qur’an, az-Zumar: 8)[9] Suara fitrah muncul terdengar, dan menjerit
memanggil Tuhannya manakala manusia dihadapkan malapetaka, kesulitan yang
dahsyat. Pada saat itulah manusia menjadi patuh tunduk, khusyuk, tawakal dan
tidak ingkar kepada-Nya. (al-Qur’an,
Luqman: 32)[10]
Untuk itu
sebagai penerima dan penyampai ajaran wahyu, sudah barang tentu Muhammad Saw adalah figur yang sangat sarat
dan sempurna spiritualitasnya. Pada dirinya tidak hanya ditemukan pengalaman
spiritualitas, tetapi metode spiritual yang dipraktikkan sebagai kebiasaan.
Dalam dirinya ada unsur yang tidak dapat dijelaskan kecuali dari sisi
spiritual. Muhammad Saw meraih hasil luar biasa melalui sebab yang tidak bisa
lepas dari keberadaan dan praktek spiritualitas. (John Clark Archer B.D, 2007: x)[11]
Ketika seorang spiritulis ini sangat dekat dengan
Allah maka ia senantiasa melakukan hubungan yang membuahkan komunikasi sangat
indah, akrab dan penuh kecintaan (mahabbah). Tentu saja semua ini harus
diawali dengan pengetahuan dengan hati sanubari akan Allah (ma’rifah) terlebih dahulu atau sebaliknya
mahabbah dahulu, baru akan naik pada maqam atau merasakan keadaan
(hal) mahabbah atau
sebaliknya ma’rifat. Ada
pula yang berpendapat bahwa mahabbah dan ma’rifat kembar dua yang
selalu disebut bersama. Keduanya
menggambarkan kedekatan hubungan spiritualis dengan Tuhan dengan hati
sanubarinya. (Harun Nasution,
1973: 75)[12]
Menurut
Zunnun al-Misri (w. 860 M) bapak faham ma’rifah membagi tiga macam
pengetahuan manusia tentang Tuhan yakni : (1) Pengetahuan awam : Tuhan satu
dengan perantara ucapan syahadat (2) Pengetahuan ulama: Tuhan satu menurut
logika akal (3) Pengetahuan sufi: Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari. (Harun Nasution, 1973: 76)[13] Pada saat spiritualis mencapai tingkat ma’rifah
ini maka ia semakin dekat dan bertambah tinggi tingkatannya dengan Allah. Dalam
keadaan dekat bersama Allah ini, maka Allah memberi janjinya bagi yang meminta
pasti dikabulkan. (al-Qur’an,
al-Baqarah: 186)[14]
2. Spiritualitas sebagai kebutuhan puncak
manusia
Manusia merupakan makhluk dualitas, berdiri di titik antara
rasional dan irasional, di samping
perannya sebagai makhluk sosial Untuk
itu keseimbangan antara keduanya sangat diperlukan, kalau tidak ingin terjadi
gejolak dalam diri manusia. Sebagai homo religious, maka kebutuhan
spiritualitas sesungguhnya merupakan satu hal yang ada dalam dirinya atau
paling tidak ada naluri yang mendorong manusia untuk cenderung mengakui adanya
suatu Zat Adikodrati (Zat Yang Maha
Tinggi). (Agus Hilman, 2005: 4) [15]
Dalam hal ini Hick (1989: 213-214) menyebutnya sebagai
(natural belief) kepercayaan alami
dan Hume, seperti yang dikutip Hick mengatakan “natural belief in the existence of body” kepercayaan alami ada
dalam keberadaan badan, sedangkan Kai Nielsen menyebut sebagai (framework beliefs) kepercayaan
‘kerangka’. Selanjutnya Hick mengatakan “that
it occurs and seems to be firmly embedded in our human nature.” Itu terjadi
dan tampak melekat kuat dalam tabiat kita.[16]
Sedangkan temuan Moh. Sholeh (2007: 185-186), ternyata persoalan spiritulitas
yang dianggap irasional karena menyangkut kepercayaan dan keyakinan seseorang
ternyata dapat dibuktikan secara ilmiah dan dapat dijadikan alternative untuk
memperbaiki daya tahan tubuh imonulogik.
Adapun menurut Yosep Nuttin, spiritualitas merupakan
salah satu dorongan yang bekerja dalam diri manusia seperti dorongan lainnya.
Sejalan dengan hal itu maka spiritualitas hendaknya dipenuhi sehingga pribadi
manusia mendapat kepuasan dan ketenangan, yang mana hal ini merupakan efek yang
diberikan Tuhan dari hasil pengalaman ketuhanan manusia. Di sini sesungguhnya
yang penting adanya suatu pengakuan walaupun secara samar, bahwa spiritualitas
seseorang timbul karena adanya dorongan dari diri sebagai faktor dalam. Dalam
perkembangan selanjutnya spiritualitas itu dipengaruhi pula oleh pengalaman spiritualitasnya
dan berperan sejalan dengan kebutuhan manusia. (Jalaluddin dan Ramayulis, 1993: 71)[17]
Perhatian terhadap dimensi spiritualitas sebagai
kebutuhan pokok tingkat tinggi manusia ini nampaknya tidak banyak mendapat perhatian para pakar
psikologi modern. Adapun jika kita mengacu pada konsep ajaran Islam maka
seorang muslim yang baik sudah barang tentu tidak akan meninggalkan
spiritualitas. Ajaran ini justru
merupakan jawaban akan kebutuhan manusia sebagai makhluk yang memiliki dimensi
batin di balik unsur jasmaniyah. Hal ini karena menurut Viktor Frankle seperti
yang dikutib Hanna Djumhana Bastaman (1995: 36), eksistensi manusia ditandai
oleh tiga faktor, yakni kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom)
dan tanggung jawab (responsibility).[18]
Sedangkan
menurut Abraham Maslow, salah seorang pemuka psikologi humanistik yang berusaha
memahami segi esoterik (rohani) manusia seperti yang dikutib Djamaluddin Ancok
(1994: 49, 75) menyatakan bahwa kebutuhan manusia memiliki kebutuhan yang
bertingkat dari yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling puncak. Terpenuhinya
kebutuhan puncak yang transenden oleh Maslow disebut peakers. Peakers
memiliki berbagai pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas tentang
diri mereka dan dunianya. Kelompok ini cenderung menjadi lebih spiritualis dan
saleh.[19]
Kebutuhan akan
spiritualitas ini sesungguhnya bersifat asasi dan menjadi fenomena yang telah
berkembang dan dipraktekkan banyak kelompok masyarakat baik di negara Timur
ataupun Barat. Keberhasilan Jepang dan masyarakatnya misalnya, ternyata
banyak diwarnai dengan ajaran Budhisme Zen yang menjunjung tinggi
kemurnian dalam batin dan motivasi. Sedangkan di Amerika sekarang masyarakatnya
mengalami peningkatan spiritualitas. Sebagian besar masyarakat Amerika mulai percaya
bahwa Tuhan adalah kekuatan spiritual yang positif dan aktif. (Muafi, 2003: 4) [20]
Perubahan ke arah spiritualitas dalam masyarakat Barat
yang awalnya mengandalkan rasio sebagai kunci satu-satunya untuk memecahkan
berbagai masalah dan menyangkal dunia Ilahi, saat ini mendapat sambutan
antosias hingga muncullah gerakan New Age (zaman baru). Gerakan ini mencari suatu keseimbangan baru antara
rasio dan jalan batin menuju sumber kehidupan Ilahi. Artinya unsur hati
nurani dan rasionalitas menjadi semacam paradigma baru yang terus dikembangkan.
(Jaspert Slob, 2004: 92-92)[21]
Manusia
dalam perspektif Islam sesungguhnya ditugaskan sebagai khalifah di muka
bumi. (al-Qur’an, al-Baqarah:
30)[22] Sebagai konsekuensi mengemban amanah,
manusia diberi kelebihan potensi dibandingkan dengan makhluk lain. Selain
dibekali akal untuk berfikir, spiritualitas juga menjadi salah satu faktor
penentu kesuksesannya mengemban amanah menjadi khalifah. Dalam hal ini
Allah sampai bersumpah demi waktu, bahwa manusia akan mengalami kerugian
(kegagalan) kecuali mereka yang beriman dan beramal salih. (al-Qur’an, al-Asr: 2-3)[23]
Sebagai
konsekuensi keimanannya kepada Allah maka seorang mukmin memiliki tanggung
jawab untuk melakukan ibadah baik yang fardu ataupun yang sunnah sebagai
tambahan. Ibadat ini
sejatinya adalah pelembagaan atau institusionalisasi iman. (Nurcholish Madjid, 2000: 67)[24]
Kesadaran
akan pentingnya ibadah ini sesungguhnya akan memiliki efek positif agar menjadi
manusia (khalifah) yang tidak mengalami kerugian dan kegagalan dalam
menjalankan tugasnya. Untuk itu spiritualitas sesungguh menjadi kebutuhan
setiap mukmin yang hendaknya terus dilakukan secara konsisten, istiqamah dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan. Dalam hal ini Nurcholish
(2000: 67) juga menjelaskan bahwa ibadat khususnya salat merupakan salah satu
sumber daya keruhanian manusia dalam menghadapi kesulitan, hal ini karena
efeknya dapat meneguhkan hati, ketenangan jiwa yang melandasi optimisme dalam
menempuh hidup yang sering tidak gampang, menumbuhkan kreatifitas dan daya
cipta serta kepanjangan akal daya/banyak akal (resourcefulness) dalam
mencari pemecahan masalah hidup.
Spiritualitas
yang dilakukan seseorang dengan baik dan ikhlas dalam pandangan Kazuo Murakami (2007:
14-15, 31-37) akan direspon oleh gen manusia hingga menyebabkan dirinya
berkualitas dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan gen itu menjadikan sel-sel berfungsi, sedangkan sel
sendiri merupakan unit terkecil dari semua makhluk hidup. Gen ini pula yang
memainkan banyak peran dalam kehidupan. Kemampuan seseorang sesungguhnya tidak
muncul secara spontan melainkan tersimpan dalam gen. Untuk mengaktifkan gen
caranya dengan menumbuhkan pikiran dan perasaan positif, peka, memunculkan
inspirasi, syukur, doa, suka mengakses informasi baru, niat baik, menumbuhkan
sikap mental spiritual.[25]
Hal senada
juga dikatakan Masaru Emoto (2006: 14-17). Apa yang
ditemukan Emoto dalam penelitiannya membuktikan bahwa spiritualitas
sesungguhnya menjadi kebutuhan dalam hidup manusia. Hal ini sangat beralasan
karena 70 % tubuh manusia dewasa terdiri dari air dan ia merespon kata-kata dan
perilaku yang positif di dekatnya dengan membentuk kristal yang indah dan
merekah seperti bunga.[26] Kata-kata dan perilaku positif ini akan
mengeluarkan energi (Hado) positif pula yang tentu akan direspon oleh
pikiran dan tubuh manusia. (Masaru Emoto, 2006: 27) [27]
Uraian di
atas jelas menunjukkan bahwa spiritualitas baik dilihat dari pendekatan apa pun
sebenarnya merupakan kebutuhan bagi diri manusia, baik sebagai internal ataupun
eksternal dalam rangka mensukseskan dirinya sebagai khalifah di muka
bumi.
3.
Spiritualis, sosok yang percaya diri dan
optimistis serta dinamis
Setiap muslim seharusnya memiliki kualifikasi yang
memadai untuk merealisasikan dirinya menjadi manusia sempurna (insan kamil)
walaupun kesempurnaan bagi setiap muslim sebetulnya tidak ada batas akhirnya
selama hayat masih di kandung badan. Menjadi manusia sempurna (insan kamil)
sesungguhnya merupakan usaha seorang muslim dalam menyucikan dirinya dan
menggapai rida Allah. Suatu upaya dalam meninggalkan sikap dan tempat-tempat
yang membuatnya lalai dan berpangku tangan, menuju sikap dan tempat-tempat yang
membuatnya selalu ingat dan beribadah. Untuk itu menjadi manusia sempurna
merupakan perjalan jiwa dengan tujuan Allah. Bekalnya akhlak mulia dan amal
saleh.( Noerhidayatullah, 2002:
11-13)[28]
Untuk itu menjadi manusia sempurna ini sejatinya harus
menjadi dambaan setiap orang. Mereka yang mendambakan menjadi manusia sempurna
ini tidaklah boleh merasa cukup dengan apa yang telah dilakukannya dan merasa
sudah menjadi orang baik-baik. Mereka akan menolak perasaan seperti itu. Untuk
itu mereka terus akan melakukan usaha untuk menyempurnakan dirinya. Manusia
sempurna ini sejatinya orang yang selalu mendinamisasikan hidupnya, memproses
dirinya secara kontinyu agar menemukan kondisi yang lebih baik dan yang
terbaik. Untuk itu manusia sempurna akan senantiasa berintrospeksi diri sampai
ia tidak lagi menemukan noda atau aib melekat pada dirinya. Untuk menuju ke
posisi ini mereka harus memformat dirinya sebagai manusia yang benar-benar
bertaqwa kepada Allah.( Soejitno Irmim & Abdul Rochim, 2005: iv-v)[29]
M. Amin Syukur (2002: 70-75)dalam hal ini juga
menjelaskan bahwa manusia sempurna ini sejatinya predikat yang dimiliki para
spiritualis akhibat dari kedalaman dimensi esoterik yang dimilikinya.
Selanjutnya beliau mengungkapkan bahwa manusia yang menyandang predikat di atas
(the perfect man/insan kamil) merupakan sosok spiritualis, yang di dalam
dirinya terpancar Sifat dan Asma Allah yang kemudian diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk itu keberadaan manusia sempurna (the perfect
man/insan kamil) di dunia ini sesungguhnya dipandang sebagai khalifah Allah
dan merupakan pengganti-Nya untuk menjadi penguasa, mengelola dan melestarikan
alam ini agar terjadi kelangsungan hidup yang damai, aman sejahtera yang penuh
rahmat Allah. [30]
Sejalan dengan pemikiran di atas manusia sempurna (the
perfect man/insan kamil) ini bisa dibilang sebagai manusia yang ideal.
Terinternalisasikannya sifat dan asma Allah dalam diri manusia sempurna ini
seharusnya akan merefleksikan tentang kesadaran murni akan peranannya untuk
menjadi manusia yang kreatif, dinamis, dan senantiasa berkarya untuk memberi
kemanfaatan tidak hanya untuk dirinya pribadi tetapi lebih luas mampu memberi
makna yang berarti untuk seluruh makhluk.( Hasan Hanafi, 1985: 154)[31]
Spiritualis sebagai manusia sempurna hendaknya tidak
hanya mengarahkan dirinya hanya tejerembab dalam alam metafisik tanpa mau
merubah untuk menuju sikap yang lebih berorientasi ke realita empirik. Itu
artinya bahwa spiritualis sebagai manusia sempurna akan menjadi berenergi untuk
senantiasa beribadah dalam pengertian yang luas. Hatinya tetap hadir di hadapan
Allah sedang secara lahiriyah ia tetap bersemangat untuk berkarya dengan disiplin
yang tinggi karena ia sadar akan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi.(
Sudirman Tebba, 2003: 150-151 )[32]
Hal seperti ini juga dijelaskan James Winston Morris
bahwa manusia sejati seutuhnya (sempurna) adalah orang yang mengenali dirinya
sendiri, mengerti asal usul dan tujuan tertinggi dalam hidupnya dan alasan
hidup di dunia ini. Dalam dirinya
kualitas-kualitas ensensi dari kemanusiaan sejati memancar secara otomatis.
(James Winston Morris, 2002: 115) [33] Ia memperlakukan orang lain sebagaimana
ia ingin diperlakukan, dan juga membela orang lain dari apa pun yang ia sendiri
tak suka. (James Winston Morris, 2002: 117)[34] Ini sekaligus menunjukkan klaim bahwa
segala perilaku sosial manusia niscaya juga diwarnai oleh “Pengalaman Yang
Suci” itu (spiritualitasnya). Dalam konteks kehidupan masyarakat ini,
spiritualitas akan turut menentukan nilai hidup, baik-jahat misalnya. Paradigma
ini sekaligus mengilustrasikan dengan cukup jelas apa yang harus dilakukan
spiritualis dalam hidup bermasyarakat. (Seyyed Hossein Nasr, 2003: 8-9)[35]
Kesadaran spiritualis akan dirinya sebagai manusia
sempurna ini, dalam pasar global nantinya tentu akan memunculkan fenomena dan
paradigma baru adanya orang-orang suci, sufi atau spiritualis di perusahaan dan
institusi yang memproduk barang dan jasa sebagai organisasi modern, bukan hanya
di masjid atau tempat ibadah saja. Bahkan saat ini fenomena itu telah banyak
bermunculan tidak hanya di perusahan/institusi lokal tetapi berkelas dunia dan
internasional. Kenyantaan itu telah terjadi di perusahaan minyak terbesar dunia
‘Shell’. Pada perusahaan ini proses internalisasi spiritualitas benar-benar
diberikan kepada 550 eksekutif dengan
harapan untuk meningkatkan kenerja karyawan dan juga untuk membangun paradigma
baru yang lebih canggih dan menguntungkan. (Ahmad Najib Burhani, 2001: 23, 63)[36]
Mengakhiri dari penjelasan di atas, Said Aqil Siroj (2006:
46) pakar spiritualitas Indonesia juga menjelaskan tentang spiritualis sebagai manusia sempurna, bahwa
mereka orang yang kaya hatinya, tetapi tidak pasif terhadap kenyataan hidup.
Kehidupan di dunia ini bagi sang spiritualis adalah fakta yang tidak bisa
diingkari. Mereka menghadapinya secara realistis. Dengan kedekatan kepada
Allah, seorang spiritualis akan selalu merasa percaya diri dan optimistis.
Aktivitasnya akan selalu menyala sebab semua yang dilakukan bertujuan mencari
rida Allah.[37]
Dengan demikian sejatinya spiritualis merupakan
manusia yang sempurna yang senantiasa terus berusaha menyempurnakan potensi
dirinya untuk menuju keridaan Allah. Ia adalah manusia yang ideal karena mampu
menjalankan tugas yang diamanatkan pada dirinya untuk menjadi Abdullah, dan
Khalifah Allah sekaligus. Dalam dirinya terpancar sifat dan asma Allah. Ia
dekat dengan Allah dan senantiasa bersama Allah baik dikesendirian ataupun
ketika bergumul, serta beinteraksi dengan manusia lain. Ia berenergi, semangat
berkarya dan memberi manfaat dalam kehidupannya semata-mata karena menjalankan
perintah Allah. Ia sejatinya orang yang bertakwa dengan sesungguhnya.
4. Metode mewujudkan diri menjadi spiritualis
Banyak
metode yang bisa menghantarkan seseorang untuk sampai kepada Allah
(spiritualis). Di antara metode itu dengan cara salat dan puasa. Uraian ini
bisa kita ikuti dalam pembahasan berikut.
Kata salat dalam
bahasa Arab diterjemahkan sebagai do’a, sembahyang, permohonan ampun, belas
kasih, dan kasih sayang. (Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, 2001: 148)[38] Sedangkan menurut istilah agama, salat
merupakan suatu perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Salat inilah merupakan ibadah yang
mula diwajibkan oleh Allah, di mana titah itu disampaikan langsung oleh Allah
tanpa perantara, pada saat malam Mi’raj. Pada malam itu dialog Allah dengan
Nabi Muhammad Saw berlangsung, membicarakan kewajiban perintah salat. (Sayyid Sabiq, 1973: 205)[39]
Praktek salat
sebenarnya sangat khusus dan merupakan ciri kehidupan spiritualitas dan pokok
dalam Islam. Spiritualis India Hazrat Inayat Khan, berkata, “Orang yang tidak
pernah mengerjakan salat bagaimanapun tak punya harapan untuk maju”. Hal ini
sangat beralasan karena salat pada kenyataannya merupakan bentuk ibadah praktek
lahir dan batin, yang merupakan serangkaian latihan jasmani yang memiliki efek
tertentu. Dengan jasmani yang sehat dan bugar mendorong manusia untuk lebih
kreatif dalam aktivitas keseharian. Demikian pula sebagai praktek batin, salat
merupakan makanan rohaniah yang paling kaya. Hingga dalam banyak hal para
spiritualis Islam (sufi) banyak berfikir lebih baik mati daripada tidak salat.
(Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, 2001:
148-149)[40]
Dengan demikian
salat merupakan praktek ibadah yang sangat khusus yang memiliki ciri aktivitas
lahir dan batin, di mana secara batin ditemukan unsur dhikir, komunikasi dan
do’a serta kedekatan kepada Allah. Hal ini seperti yang firmankan Allah
:Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku”. (al-Qur’an,
Taha : 14)[41]
Kalau melihat dari
uraian di atas maka didapatkan pemahaman, salat merupakan praktek ibadah yang
sangat khusus yang memiliki ciri aktivitas lahir dan batin yang kedudukannya
tidak bisa dipisah-pisahkan. Memisahkan salah satu dari keduanya merupakan
bentuk mementahkan maksud salat yang sebenarnya. (al-Qur’an, al-Baqarah : 238).[42]
Dalam aktivitas
itu spiritualis menemukan unsur dhikir dan komunikasi, do’a dan merasakan
kedekatan dengan Allah. Sehingga ruh dan
mata hati (basiroh) nya menjadi bertemu dan menyaksikan keindahan Allah.
Maka jangan heran kalau para spiritualis (sufi) dan orang-orang yang memahami
tentang hakikat dan pentingnya salat berfikir lebih baik mati daripada tidak
salat.
Fenomena ini tidak
mengherankan sebab Nabi Saw sendiri jikalau rindu berkomunikasi dengan Allah
seperti dalam Isro’mi’roj seringkali menanyakan sahabat Bilal untuk mempercepat
kepada seruan salat. Bagi Nabi Muhammad Saw, salat merupakan pengulangan dari
pengalamannya selama mi’raj yang membawanya dekat ke hadapan Allah Swt. (Annemarie Schimmel, 1997: 217)[43]
Salat memang
merupakan langkah pertama dan terakhir bagi seseorang yang beriman sejati yang
senantiasa mendambakan kedekatan, berkomunikasi, dhikir dan berdo’a kepada
Allah. Karenanya salat
menjadi pondasi bagi dibangunnya praktik-praktik spiritual yang lebih halus. Kenikmatan
melakukan salat memang sudah teruji karena saat itu hamba dan Khaliq
berhadapan, mengetahui, mengenal, dan berkomunikasi, sampai-sampai penghulu
dunia Nabi Muhammad SAW, berserah diri dalam salat di hadapan-Nya meskipun
beliau telah mencapai tingkat spiritual tertinggi.
(Syaikh Hakim Mu’inuddin
Chisyti, 2001: 168)[44]
Kehidupan dalam
jalan spiritualitas selain salat, dapat dijumpai pula dengan cara puasa. Puasa
adalah ibadah yang dilakukan tanpa ucapan dan perbuatan, akan tetapi dengan
menahan dan mencegah diri dari makan, minum dan bersetubuh sejak terbit fajar
sampai terbenam matahari. Sebagai pencegahan dan penahanan diri, sekalipun
tampaknya negatif pada lahiriahnya, ia merupakan amalan positif pada hakikat
dan jiwanya. Karena ia merupakan pencegahan diri terhadap selera nafsu dengan
niat taqarrub kepada Allah. Maka amalan yang disertai dengan niat ini,
akan mempunyai bobot dalam nilai kebenaran, kebajikan dan penerimaannya di sisi
Allah. (Yusuf al-Quradawi, 1998:
505-506)[45]
Secara umum puasa
adalah pembersihan di atas pembersihan yang diharapkan pelaku tidak hanya
mendapat lapar dan dahaga saja. Tetapi lebih penting dari itu diharapkan akan
muncul perasaan kedekatan spiritualis bersama Allah. Inilah puasa yang
dilakukan hanya untuk Allah. Sehingga Allah sendiri yang akan memberi ganjaran
(keutamaan) bagi pelakunya. (Abdul Qadir al-Jailani, 2002: 233-234 )[46]
Puasa yang
dilakukan dengan ikhlas akan membawa efek positif bagi pelakunya. Tidak hanya
menyehatkan tubuh, puasa mampu membersihkan kotoran jiwa, sehingga pelakunya
menjadi bersih dan suci. Dalam keadaan seperti ini spiritualis akan merasakan
kehadiran dan kedekatan dengan Allah. (Carl W. Ernst, 2001: 50-52)[47] Hati dan pikirannya senatiasa menjadi
teringat (dhikir) kepada Allah, (Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti,
2001: 142)[48] sehingga spiritualis senantiasa menerima
bantuan dan pertolongan dari Allah ketika ia berdoa.( al-Qur’an, al-Baqarah :
186)[49]
Ibadah puasa ini
sejatinya suatu misteri yang tidak berkaitan dengan yang lahiriah. Suatu misteri yang tidak ada sesuatu pun
selain Allah yang tahu. Untuk itulah banyak spiritualis (sufi) melakukan puasa,
selain salat. Sebab dengan berpuasa jiwa menjadi bersih, hati menjadi bersinar
dan mengantarkan ruh kepada Allah hingga spiritualis akan mudah mencapai
keinginannya.( al-Hujwiri, 1995: 286-291)[50]
Hal senada juga dikatakan Yusuf
al-Quradawi (1998: 511-512), “tidak heran kalau ruh orang yang berpuasa
itu dapat meningkat dan mendekat ke arah alam yang tinggi, mengetuk pintu-pintu
langit, dengan do’anya lalu terbukalah. Ia memohon kepada Tuhannya, lalu Allah
pun mengabulkannya, dan ia memanggil-Nya, lalu Allah pun menyahutnya.” [51]
5. Kekuatan spiritualis sebagai aset
organisasi sukses
Dalam
uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa spiritualitas sejatinya merupakan
kebutuhan asasi dan puncak manusia. Sebagai kebutuhan asasi seseorang,
spiritualitas dalam kehidupan saat ini bisa dikembangkan dalam kehidupan
pribadi pemimpin organisasi bila menginginkan keberhasilan.( Jeff
Hammond, 2002: 12)[52] Demikian pula menurut Abdul Azis Wahab (2008:
136), bahwa :
Pemimpin pendidikan untuk memangku jabatan agar
dapat melaksanakan tugas-tugasnya dan memainkan peranannya sebagai pemimpin
yang baik dan sukses, maka dituntut beberapa persyaratan jasmani, rohani dan moralitas
yang baik serta sosial ekonomi yang layak. Pemimpin pendidikan hendaknya
memiliki kepribadian yang baik menyangkut: rendah hati, sederhana, suka
menolong, sabar, percaya diri, jujur, adil dan dapat dipercaya serta ahli dalam
jabatannya.[53]
Dimensi spiritualitas
pemimpin di sini jelas merupakan aset organisasi, yang hal ini tentu tidak
dikenal dalam kepemimpinan sekuler. Sebagai aset tentu perlu dijaga dan
dikembangkan pada diri seorang pemimpin. Hal ini karena dimensi spiritualitas
menjadi salah satu faktor yang turut berpengaruh mewujudkan keberhasilan kepemimpinan yang ada.
Pengabaian akan
spiritualitas maka berefek seperti yang dijelaskan Morgan Mc.Call & Michael
Lombardo seperti yang dikutib Safaria bahwa:
“Banyak pemimpin yang gagal dalam menjalankan kepemimpinannya sebenarnya
merupakan orang-orang yang cerdas, ahli di bidangnya masing-masing, seorang
pekerja keras dan diharapkan maju dengan cepat. Akan tetapi sebelum mereka
sampai di puncak organisasi, mereka dipecat atau dipaksa untuk pensiun /
mengundurkan diri.” (Triantoro Safaria, 2004: 14 – 15)[54]
Dalam krisis global
saat ini sebagai pemimpin, tentu
dihadapkan dengan berbagai persoalan dan perubahan yang menuntut paradigma baru
bagi seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya. Paradigma ini akan
menentukan pola dan gaya kepemimpinan seorang pemimpin sehari-hari, selama
pemimpin mengarahkan organisasi menuju kesuksesan di masa depan. (Triantoro
Safaria, 2004: 6)[55]
Berbagai persoalan
yang komplek, tentunya bisa membuat para pemimpin kehilangan keseimbangan dan
kalau tidak tahan goncangan maka akan berpengaruh pada keberhasilan kepemimpinan. Untuk itu
seorang pemimpin seyogyanya perlu mengembangkan aset yang berupa
spiritualitas di samping yang lainnya. Hal ini karena telah dicontohkan Nabi
Muhammad Saw sebagai panutan umat Islam. Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran
agama Islam, ternyata merupakan figur pemimpin dunia yang dikagumi akan
keberhasilannya. Beliau ternyata tidak meninggalkan dimensi spiritualitas.
Muhammad Saw meraih hasil luar biasa
melalui sebab yang tidak bisa lepas dari keberadaan dan praktek
spiritualitas. ( John
Clark Archer B.D, 2007: x)[56] Beliau sesungguhnya spiritualis
sejati, manusia sempurna yang membuktikan kepada dunia senantiasa berkarya,
optisimis dan dinamis menjalani kehidupan ini.
C. Penutup.
Islam
sesungguhnya agama yang mengajarkan tidak hanya menyangkut lahiriyah semata.
Perihal yang menyangkut spiritualitas mendapat perhatian pula. Untuk itu
sejatinya Islam ini merupakan ajaran bersumber dari wahyu yang sarat dengan
nilai spiritual karena diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Selain
itu banyak ayat yang menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya karena hal
ini merupakan fitrah insani.
Disadari
atau tidak sesungguhnya manusia akan merindukan Sang Pencipta dan Pelindungnya.
Untuk itu manusia merupakan makhluk dualitas, berdiri di titik antara
rasional dan irasional, di samping
perannya sebagai makhluk sosial Untuk
itu keseimbangan antara keduanya sangat diperlukan, kalau tidak ingin terjadi
gejolak dalam diri manusia itu sendiri. Untuk itu spiritualitas ini sejatinya
merupakan kebutuhan tingkat tinggi seseorang. Terpenuhinya kebutuhan puncak
yang transenden oleh Maslow disebut peakers. Peakers memiliki berbagai
pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas tentang diri mereka dan
dunianya. Kelompok ini cenderung menjadi lebih spiritualis dan saleh.
Ketika
dalam keadaan seperti ini maka spiritualis tidak akan mengarahkan dirinya hanya tejerembab dalam
alam metafisik. Spiritualis sejati adalah mereka yang mau merubah diri menuju
sikap yang lebih berorientasi ke realita empirik. Itu artinya bahwa spiritualis
sebagai manusia sempurna akan menjadi berenergi untuk senantiasa beribadah
dalam pengertian yang luas. Hatinya tetap hadir di hadapan Allah sedang secara
lahiriyah ia tetap bersemangat untuk berkarya dengan disiplin yang tinggi
karena ia sadar akan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Untuk itu
spiritualis sejatinya merupakan sosok yang percaya diri dan optimistis serta
dinamis dalam menjalani kehidupan ini. Sehigga dalam tubuh
organisasi, para spiritualis sejatinya dapat menjadi aset organisasi yang patut
dikembangkan keberadaannya. Kesadaran spiritualis akan dirinya sebagai manusia
sempurna ini, tentu akan muncul menjadi fenomena dan paradigma baru dalam pasar
global. Untuk itu di perusahaan dan institusi sebagai organisasi modern,
nantinya akan bermunculan orang-orang suci (sufi) dan bukan hanya di masjid
atau tempat ibadah saja. Para spiritualis akan hadir di tubuh organisasi tidak
hanya pada tataran lokal tetapi juga berkelas internasional.
Adapun
metode untuk menjadi spiritualis sesungguhnya banyak. Di antara jalan itu yakni
dengan melakukan salat dan puasa. Salat merupakan praktek ibadah yang sangat
khusus yang memiliki ciri aktivitas lahir dan batin, di mana secara batin ditemukan
unsur dhikir, komunikasi dan do’a serta kedekatan kepada Allah. Sedangkan secara
umum puasa adalah pembersihan di atas pembersihan. Dengan puasa ini diharapkan
akan muncul perasaan kedekatan bersama Allah. Untuk itulah banyak spiritualis
(sufi) melakukan puasa, selain salat. Sebab dengan berpuasa jiwa menjadi
bersih, hati menjadi bersinar dan mengantarkan ruh kepada Allah hingga
spiritualis akan mudah mencapai keinginannya.
Daftar
Kepustakaan
Ancok,
Djamaluddin. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Archer
B.D, John Clark. Dimensi Mistis dalam Diri Muhammad. terj. Ahmad Asnawi.
Yogyakarta: Diglossia, 2007).
As’ad, M.
Uhaib dan M. Harun al-Rosyid.
“Spiritualitas dan Modernitas Antara Konvergensi dan Devergensi” dalam Spiritualitas
Baru, Agama & Aspirasi Rakyat. ed. Elga Sarapung, dkk. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Burhani, Ahmad Najib. Sufisme Kota : Berpikir Jernih
Menemukan Spiritualitas Positif. Jakarta :
Serambi Ilmu Semesta, 2001.
Chisyti,
Syaikh Hakim Mu’inuddin. Penyembuhan Cara Sufi. Terj.
Burhan Wirasubrata. Jakarta: Lentera Basritama, 2001.
Emoto,
Masaru. The True Power of Water: Hikamah Air dalam Olah Jiwa. Terj.
Azam. Bandung: MQ Publishing, 2006.
Ernst,
Carl W. Mozaik Ajaran Tasawuf. terj. Tantan Hermansyah dan Siti Suharni.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).
Hadhiri
SP, Choiruddin. Klasifikasi Kandungan al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani
Press, 1994.
Hammond,
Jeff. Kepemimpinan Yang Sukses. Jakarta: Yayasan MediaBuana
Indonesia, 2002.
Hanafi, Hasan. From Faith to Revolution.
Spanyol: Cordoba ,
1985.
Hanna
Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 36.
Hick, John. An Interpretation of Religion, Human Responses to the
Transcendent. New
Haven and London : Yale University
Press, 1989.
Hilman,
Agus. “Spiritualitas yang Kering”. Jawa Pos, 1 Nopember 2005.
al-Hujwiri.
Kasyful Mahjub : Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf. terj. Suwardjo
Muthari dan Abdul Hadi W.M. Bandung: Mizan, 1995.
Irmim, Soejitno & Abdul Rochim. Menjadi
Insan Kamil. tt: Seyma Media, 2005.
al-Jailani,
Abdul Qadir. Rahasia Sufi. terj. Abdul Majid. Yogyakarta: Futuh, 2002.
Jalaluddin dan Ramayulis. Pengantar
Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam
Mulia, 1993.
Kielson,
Daniel C. “Leadership: Creating a New
Reality”. Dalam, Triantoro Safaria, Kepemimpinan. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2004.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000.
Mc.Call,
Morgan & Michael Lombardo. “Off the
track: Why and How Succesfull Executive Get Gerailed.” Dalam, Triantoro
Safaria, Kepemimpinan. Yogyakarta :
Graha Ilmu, 2004.
Morris, James Winston. Sufi-Sufi
Merajut Peradaban. Jakarta :
Forum Sebangsa, 2002.
Muafi.
“Pengaruh Motivasi Spiritual Karyawan terhadap Kinerja Riligius di Kawasan Industri Rungkut
Surabaya.” Jurnal Siasat Bisnis. Vol. 1, Nomor 8. Yogyakarta: Fakultas
Ekonomi UII, 2003.
Murakami, Kazuo. The Divine Message of
The DNA: Tuhan dalam Gen Kita. terj. Winny Prasetyowati. Bandung:
Mian, 2007.
Nasr, Seyyed Hossein. Antara Tuhan,
Manusia dan Alam: Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual. Yogyakarta : IRCiSoD, 2003.
Nasution,
Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Noerhidayatullah. Insan Kamil:
Metoda Islam Memanuisakan Manusia. Bekasi: Nalar, 2002.
al-Quradawi,
Yusuf. Ibadah Dalam Islam. Terj.
Umar Fanani. Surabaya:
Bina Ilmu, 1998.
Sabiq,
Sayyid. Fikih Sunnah. Jilid 1. Terj. Mahyuddin Syaf. Bandung: PT Al-Ma’arif, 1973.
Schimmel,
Annemarie. Rahasia Wajah Suci Ilahi. terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1997.
Sholeh, Moh. Terapi Salat Tahajud Menyembuhkan
Berbagai Penyakit. Jakarta :
Hikmah, 2007.
Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai
Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Bandung : Mizan, 2006.
Slob,
Jaspert. “Kecendrungan Spiritualitas Masyarakat Modern”. dalam Spiritualitas
Baru, Agama & Aspirasi Rakyat. ed. Elga Sarapung, dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Suaedy,
Ahmad. “Spiritualitas dan Modernitas Antara Konvergensi dan Devergensi”. dalam Agama,
Spiritulitas Baru dan Keadilan Perspektif Islam. ed. Elga Sarapung, dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Syukur,M. Amin. Menggugat Tawawuf:
Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2002.
Tebba, Sudirman. Tasawuf Positif.
Jakarta :
Prenada Media, 2003.
Tobroni. The Spiritual Leadership:
Pengefektifan Organisasi Noble Industry Melalui Prinsip-prinsip Spiritual Etis.
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2005.
Turner,
Bryan S. Religion and Social Theory. London: SAGE Publictions Ltd., 1991.
Wahab, Abdul Azis. Anatomi Organisasi dan
Kepemimpinan Pendidikan: Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi
Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2008.
[1] Ahmad Suaedy, “Spiritualitas dan
Modernitas Antara Konvergensi dan Devergensi”
dalam Agama, Spiritulitas Baru
dan Keadilan Perspektif Islam, ed. Elga Sarapung, dkk (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), 202
[2] M. Uhaib As’ad dan M. Harun al-Rosyid,
“Spiritualitas dan Modernitas Antara Konvergensi dan Devergensi” dalam Spiritualitas
Baru, Agama & Aspirasi Rakyat, ed. Elga Sarapung, dkk (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), 340.
[3] Bryan S.
Turner, Religion and Social Theory (London: SAGE Publictions Ltd., 1991), 17.
[5] Tobroni,
The Spiritual Leadership: Pengefektifan Organisasi Noble Industry Melalui
Prinsip-prinsip Spiritual Etis (Malang :
UMM, 2005), 19-20.
[6] Harun
Nasution, Filsafat …, 56.
[7]
Choiruddin Hadhiri SP, Klasifikasi Kandungan al-Qur’an (Jakarta: Gema
Insani Press, 1994), 201-2, 205-6. Dalam hal ini ia mengklasifikasi paling
tidak ada sebelas ayat dalam enam surat yang
membahas bahwa al-Qur’an berasal dari Allah Swt, salah satu di antaranya
terdapat dalam al-Qur’an, 13 (ar-Ra’d): 1. Selanjutnya Hadhiri SP juga
mengklasifikasi sedikitnya ada dua belas ayat dalam empat surat yang menjelaskan bahwa al-Qur’an bukan
buatan Muhammad Saw. Demikian pula keummian Muhammad juga menunjukkan bahwa
al-Qur’an berasal dari Allah yang dibawa turun oleh Jibril ke dalam hati Nabi
Muhammad atau Jibril menampakkan rupa aslinya dan menjelma berupa orang
laki-laki.
[12] al-Ghazali memandang bahwa ma’rifah
datang sebelum mahabbah, sedang menurut al-Kalabadi, ma’rifah
datang setelah mahabbah. Keduanya ma’rifah dan mahabbah
terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang hal. Bagi
al-Junaid (w.381 H) ma’rifah merupakan hal dan bagi al-Qusyairy
memandang sebagai maqam. Lihat Harun Nasution, Filsafat …, 75.
[13] Ibid., 76.
[14] al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 186.
[15] Agus Hilman, “Spiritualitas yang Kering”,
Jawa Pos, 1 Nopember 2005), 4.
[16] John
Hick, An Interpretation of Religion,
Human Responses to the Transcendent (New Haven and London: Yale University
Press, 1989 ), 213-214. Bandingkan dengan temuan Moh. Sholeh, ternyata
persoalan spiritulitas yang dianggap irasional karena menyangkut kepercayaan
dan keyakinan seseorang ternyata dapat dibuktikan secara ilmiah dan dapat
dijadikan alternative untuk memperbaiki daya tahan tubuh imonulogik. Moh. Sholeh, Terapi Salat Tahajud Menyembuhkan Berbagai
Penyakit (Jakarta: Hikmah, 2007), 185-186.
[18] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi
Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), 36.
[19] Djamaluddin Ancok, Psikologi
Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994),49, 75.
[20] Muafi. “Pengaruh Motivasi Spiritual
Karyawan terhadap Kinerja Riligius di
Kawasan Industri Rungkut Surabaya.” Jurnal Siasat Bisnis. Vol. 1, Nomor
8, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 2003), 4.
[21] Jaspert Slob, “Kecendrungan Spiritualitas
Masyarakat Modern”, dalam Spiritualitas Baru, Agama & Aspirasi Rakyat, ed.
Elga Sarapung, dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 92-92.
[22] al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 30.
[23] Ibid.,
103 (al-Asr): 2-3.
[24] Dalam hal ini ibadat sejatinya adalah
pelembagaan atau institusionalisasi iman itu. Lihat, Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), 67.
[25] Kazuo
Murakami, The Divine Message of The DNA: Tuhan dalam Gen Kita, terj.
Winny Prasetyowati (Bandung : Mian, 2007), 14-15, 31-37
[26] Masaru Emoto, The True Power of Water:
Hikamah Air dalam Olah Jiwa, terj. Azam (Bandung: MQ Publishing, 2006),
14-17.
[27] Ibid.,
27
[28] Noerhidayatullah, Insan Kamil: Metoda
Islam Memanuisakan Manusia (Bekasi: Nalar, 2002), 11-13.
[29]
Soejitno Irmim & Abdul Rochim, Menjadi Insan Kamil (tt: Seyma Media,
2005), iv-v.
[30]
M. Amin Syukur, Menggugat Tawawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002),
70-75.
[31]
Hasan Hanafi, From Faith to Revolution
(Spanyol: Cordoba, 1985) , 154.
[34]
Ibid., 117.
[35]
Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Filosofis dan
Religius Menuju Puncak Spiritual (Yogyakarta :
IRCiSoD, 2003), 8-9.
[36]
Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota: Berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas
Positif (Jakarta :
Serambi Ilmu Semesta, 2001), 23, 63.
[37]
Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai
Inspirasi Bukan Aspirasi (Bandung :
Mizan, 2006), 46.
[38] Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, Penyembuhan
Cara Sufi, terj. Burhan Wirasubrata
(Lentera Basritama: Jakarta, 2001), 148.
[39] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid
1, terj. Mahyuddin Syaf (Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1973), 205.
[40] Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, Penyembuhan…,
148-149.
[41] al-Qur’an, 20 (Taha) : 14
[42] Ibid.,
2 (al-Baqarah) : 238
[43] Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci
Ilahi, terj. Rahmani Astuti
(Bandung: Mizan, 1997), 217.
[44] Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, Penyembuhan…,
168.
[47] Carl W. Ernst, Mozaik Ajaran Tasawuf,
terj. Tantan Hermansyah dan Siti Suharni (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), 50-52.
[48] Syaikh
Hakim Mu’inuddin Chisyti, The Book…, 142.
[49]
al-Qur’an, 2 (al-Baqarah) : 186.
[50]
al-Hujwiri, Kasyful Mahjub : Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf,
terj. Suwardjo Muthari dan Abdul Hadi W.M (Bandung: Mizan, 1995), 286-291
[51]
Yusuf al-Quradawi, Ibadah…,
511-512.
[52] Jeff Hammond, Kepemimpinan Yang Sukses (Jakarta :
Yayasan MediaBuana Indonesia ,
2002), 12.
[53] Abdul Azis Wahab, Anatomi Organisasi dan
Kepemimpinan Pendidikan: Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi
Pendidikan (Bandung :
Alfabeta, 2008), 136.
[54] Morgan Mc.Call & Michael Lombardo, “Off the track:
Why and How Succesfull Executive Get Gerailed.” Dalam, Triantoro Safaria, Kepemimpinan
(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2004), 14 – 15.
[55] Daniel C. Kielson, “Leadership: Creating a New Reality.” Dalam, Triantoro Safaria, Kepemimpinan
(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2004), 6.
[56] John Clark Archer B.D, Dimensi Mistis dalam Diri
Muhammad , terj. Ahmad Asnawi (Yogyakarta :
Diglossia, 2007), hal. x.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)