Tuesday, February 21, 2012

Pengembangan Manajemen Pondok Pesantren Dalam Menghadapi Globalisasi Oleh : Dr. Djoko Hartono, M.Ag, M.M


Stigma buruk akan manajemen pondok pesantren (ponpes) di negeri ini nampaknya belum lenyap betul. Jeleknya manajemen ponpes menyebabkan institusi pendidikan nonformal ini dianggap sebagai lembaga pendidikan yang tetap melanggengkan status qua-nya sebagai institusi pendidikan yang tradisional, konservatif, dan terbelakang. Anehnya institusi pendidikan ini tetap diminati masyarakat dan tetap eksis dari tahun ke tahun. Namun demikian tidak sedikit di antara ponpes yang ada, yang dulu memiliki banyak santri kemudian menjadi tidak berpenghuni. Hingga belakangan muncul ponpes tanpa santri.
Memasuki era globalisasi saat ini, keberadaan ponpes sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di negeri ini tentu harus dikelola (manaj) dengan lebih professional jika tidak ingin ditinggalkan masyarakat sebagai stakeholder. Arus global saat ini menjadikan dunia informasi dan pengetahuan semakin mudah diakses masyarakat. Untuk itu tidak menaruh kemungkinan ponpes yang dulu dijadikan pusat kajian keislaman dan pengamalannya sekaligus, pada saatnya menjadi tidak diminati dan ditinggalkan masyarakat sebagai pengguna jasa.
Hal ini sangat beralasan karena kecenderungan masyarakat saat ini dalam mengkaji, memahami dan mengamalkan ajaran keagamaan dari hasil penelitian penulis cenderung mengalami kesadaran. Mereka menjadi santri dalam ruang global, dalam dunia maya, yang kehadiarannya tanpa terikat dengan sekat dinding dan pagar yang tinggi mengelilingi dan membatasi aktivitas kesehariannya.
Dari hasil laporan penelitian yang penulis lakukan pada tahun 2009/2010 terhadap 30 kepala sekolah favorit yang bernuansa Islam di Surabaya menunjukkan bahwa mereka yang bukan alumni ponpes dengan jumalah 15 orang, pemahaman dan tingginya kesadaran untuk melaksanakan sebagian dari ajaran Islam (spiritualitas) cenderung hampir menyamai bahkan ada yang melebih baik dari mereka yang alumni ponpes yang jumlahnya 15 pula. (Hartono, 2011: 84)

Tabel. 1
Pemahaman dan Kesadaran Aktivitas Keagamaan

Bentuk Aktivitas
Alumni Ponpes
Bukan Alumni Ponpes
Salat Tahajud
12 Orang
10 Orang
Salat Duha
10 Orang
8 Orang
Salat Hajat
6 Orang
7 Orang
Puasa Senin Kamis
8 Orang
7 Orang

A.    Urgensi Pengembangan Manajemen Bagi Pondok Pesantren (Ponpes)
Para ahli nampaknya berpandangan tidak sama di dalam mendefinisikan manajemen itu sendiri. Untuk itu tidak mudah memberi arti universal yang dapat diterima oleh semua orang. Namun demikian kebanyakan para pakar menyatakan bahwa manajemen sejatinya merupakan suatu proses yang menggunakan kemampuan atau keahlian untuk mencapai tujuan dan dalam pelaksanaannya dapat mengikuti alur keilmuan secara ilmiah dan dapat pula menonjolkan kekhasan atau gaya manajer dalam mendayagunakan kemampuan orang lain.
Setiap pembicaraan yang di arahkan kepada manajemen maka yang terlintas seringkali adalah perusahaan-perusahaan besar, raksasa, maju, berkelas dunia. Sesungguhnya penerapan dan pengembangan manajemen yang baik dan professional bukan hanya dibutuhkan dan milik perusahaan-perusahaan yang sukses tersebut. Manajemen sejatinya merupakan bagian ilmu pengetahuan yang bersifat universal. Selain sebagai ilmu, manajemen sejatinya juga sebagai seni, yang eksistensinya juga dibutuhkan untuk semua tipe kegiatan yang diorganisasi dan dalam semua tipe organisasi. Dalam prakteknya manajemen dibutuhkan dan penting untuk dikembangkan di mana saja jika ada sekolompok orang bekerja bersama (berorganisasi) untuk mencapai tujuan bersama (Handoko, 1999: 3).
Manajemen dikatakan sebagai ilmu selain karena bersifat universal, ia mempergunakan kerangka ilmu pengetahuan yang sistematis, mencakup kaidah-kaidah, prinsip-prinsip dan konsep-konsep serta dapat diterapkan dalam semua organisasi manusia. (Handoko, 1999: 6)
Adapun menurut Mulyati dan Komariah (2009: 86) manajemen dikatakan sebagai ilmu karena menekankan perhatian pada keterampilan dan kemampuan manajerial menyangkut keterampilan/kemampuan teknikal, manusiawi, dan konseptual. Sedang manajemen sebagai seni karena tercermin dari perbedaan gaya (style) seseorang dalam menggunakan atau memberdayakan orang lain untuk mencapai tujuan. Selain sebagai ilmu dan seni, manajemen menurut Mulyati dan Komariah ternyata juga sebaga proses. Hal ini karena aktivitas manajemen ternyata membutuhkan langkah yang sistematis dan terpadu.
Untuk itu maka pengembangan manajemen tidak hanya berguna bagi organisasi yang berorientasi profit (bisnis). Pengembangan manajemen sejatinya juga berguna bagi organisasi seperti ponpes, rumah sakit, sekolah dan yang lain. Apun urgensi pengembangan manajemen ini sesungguhnya sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi yang diinginkan. Dengan manajemen, daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen akan dapat ditingkatkan.(Hasibuan, 2001:1) Adapun unsur-unsur manajemen itu sendiri terdiri man, money, methode, machines, materials dan market serta spirituality. Keenam unsur ini sesungguhnya menjadi asset organisasi apa saja, yang jika dikelola (manaj) dengan baik tentu akan menghantarkan organisasi tersebut mencapai kesuksesan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.  (Hartono, 2011: 8).
Selanjutnya menurut Handoko (1999: 6-7) urgensi pengembangan manajemen bagi sebuah organisasi termasuk di sini untuk ponpes yakni :
  1. Untuk mempermudah organisasi (ponpes) mencapai tujuan yang diharapkan.
  2. Untuk menjaga keseimbangan di antara tujuan-tujuan, sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan yang saling bertentangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam organisasi seperti pemilik dan tenaga pendidik/kependidikan, peserta didik, orang tua, masyarakat, pemerintah dan yang lainnya.
  3. Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas kerja organisasi dalam rangka meraih tujuan yang ada.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembangan manajemen sangat urgen bagi ponpes dalam menghadapi globalisasi. Eksistensi manajemen sangat dibutuhkan ponpes itu sendiri. Karena tanpa manajemen, semua usaha akan menjadi sia-sia, tidak terarah dan pencapaian tujuan ponpes yang ada akan lebih sulit dan tidak optimal.

B.     Pengembangan Bidang-Bidang Manajemen Pondok Pesantren
Uraian di atas telah menyinggung tentang definisi manajemen yang di antara para pakar berbeda-beda dalam mendefinisikannya. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan Stoner (1982:8) bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, , pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Gulick (1965: 14) mendefinisikan bahwa manajemen adalah suatu bidang ilmu pengetahuan (science) yang berusaha secara sistematis untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja bersama untuk mencapai tujuan dan membuat system kerjasama ini lebih bermanfaat bagi kemanusiaan.
Menurut Gulick manajemen telah memenuhi persyaratan untuk disebut bidang ilmu pengetahuan, karena telah dipelajari untuk waktu yang lama dan telah diorganisasi menjadi suatu rangkaian teori. Teori-teori ini masih terlalu umum dan subjektif. Akan tetapi teori manajemen selalu diuji dalam praktek, sehingga manajemen sebagai ilmu akan terus berkembang. Sedang menurut Follett bahwa manajemen adalah seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Untuk itu manajemen sesungguhnya bukan hanya merupakan ilmu atau seni, tetapi kombinasi dari keduanya. Kombinasi ini tidak dalam proporsi yang tetap tetapi dalam proporsi yang bermacam-macam dan terus mengalami pengembangan.
11.  Manajemen kelas
12.  Manajemen system informasi dan teknologi
13.  Manajemen kurikulum
14.  Manajemen peserta didik
15.  Manajemen tenaga didik dan kependidikan
16.  Manajemen pesantren, orang tua dan masyarakat
17.  Manajemen kepemimpinan
18.  Manajemen lingkungan
19.  Manajemen sarana prasarana

 
Akibat pengembangan manajemen ini maka akan kita temui bidang-bidang manajemen yang meliputi :
  1. Manajemen sumber daya manusia
  2. Manajemen keuangan
  3. Manajemen produksi
  4. Manajemen pemasaran
  5. Manajemen perkantoran
  6. Manajemen risiko
  7. Manajemen mutu
  8. Manajemen konflik
  9. Manajemen perubahan
  10. Manajemen strategi

Bidang-bidang manajemen tersebut tentu dalam implementasinya bisa diterapkan dan dikembangkan dalam pondok pesantren (ponpes) sebagai lembaga pendidikan nonformal yang ada. Para pengasuh/pengelola ponpes akan lebih baik jika dalam menjalankan roda organisasi mampu mengelola bidang-bidang tersebut.
Lebih-lebih ponpes yang ada di arus globalisasi, harus terus berbenah diri dan siap melakukan perubahan jika tidak ingin ditinggalkan masyarakat sebagai stakeholder, pengguna jasa ponpes. Suka tidak suka semua akan merasakan dan hidup dalam era millennium ketiga ini. Dalam era ini wajah dunia dari hari ke hari kian berubah. Perubahan itu benar-benra kasat mata di sekitar kita.
Perubahan tersebut ditandai dengan adanya fenomena bangunan fisik, produk teknologi, mobilitas penduduk, media komunikasi, system transportasi, arus informasi, arus barang, jasa dan lainnya. Perubahan-perubahan ini tentu juga akan berpengaruh terhadap wajah peradaban umat manusia. (Sudarwan Danim, 2010: 1). Untuk itu ponpes sebagai institusi pendidikan Islam nonformal tertua di negeri ini nampaknya perlu juga mereposisi manajemen yang ada sebelumnya. Selanjutnya para pengelola/pengasuh ponpes harus berani dan mau mengembangkan manajemen yang ada guna mengantisipasi perubahan zaman saat ini dan yang akan datang.
Hal ini karena era sekarang dan masa mendatang menuntut manusia dan organisasinya memiliki daya adaptabilitas dan mutu yang tinggi untuk dapat eksis dan kompetitif. Mereka yang mampu menyiapkan diri dengan mutu yang tinggi akan menjelma menjadi pemenang. Sedang mereka yang tidak mampu menyiapkan diri maka akan menjadi kelompok yang kalah (losers).
Menyikapi fenomena dalam era globalisasi ini, KH. Sahal Mahfudz (1994) mengatakan bahwa, “Kalau pesantren ingin berhasil dalam melakukan pengembangan masyarakat, maka pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga yang terampil mengelola (memanajemen) sumber daya yang ada di lingkungannya, di samping syarat lainnya. Pesantren harus tetap menjaga potensinya sebagai lembaga pendidikan”.
Untuk itu ponpes tidak boleh tergilas dengan zaman dan kemudian musnah. Ponpes dalam eksistensinya tidak boleh menutup (mengisolasi) diri dari perubahan dan perkembangan zaman, tetapi ponpes tetap harus berani menunjukkan eksistensi diri sebagai lembaga pendidikan Islam yang tetap memiliki kekhasannya. Dalam filosofi orang jawa dikatakan, “bakal teko jaman perubahan lan kemajuan, siro keno ngeli ning ojo keli”. Akan datang jaman perubahan dan kemajuan, manusia boleh mengikuti arus perubahan akan tetapi jangan terhanyut dalam arus tersebut. Untuk itu manajemen sangat dibutuhkan ponpes jika ingin tetap eksis dan terus ikut memberi kontribusi positif serta turut mewarnai peradaban dunia di era globalisasi dalam millennium ketiga saat ini.

C.    Mengelola Perubahan Pondok Pesantren
Manajemen perubahan adalah suatu proses sistematis dalam menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan. Adapun manfaat manajemen perubahan ini sejatinya untuk memberikan solusi dari dampak perubahan yang ada dengan menggunakan metode serta melakukan pengelolaan dampak perubahan tersebut secara terorganisir.  (Nur Nasution, 2010: 20).
Ada banyak stigma negative yang di alamatkan kepada ponpes dalam perkembangannya. Terlepas dari banyak pula kontibusi positif ponpes yang diberikan kepada masyarakat dan bangsa ini. Kritikan ini patut disikapi dengan arif dan tidak mengedepankan emosional. Demi kebaikan dan penyempurnaan dalam memberikan pelayanan kepada umat tidak ada salahnya kalau kita melakukan evaluasi internal.
Di antara stigma negative tersebut misalnya, dikelola dengan kepemimpinan sentralistik, rigit, otoriter, diajar dan dididik para ustadz yang konservatif, lingkungan yang kumuh, kurikulumnya klasik, system social yang tertutup sehingga jauh dari sentuhan informasi dan teknologi yang telah berkembang di dunia luar, kumpulan orang-orang malas (nglomprot), tidak memiliki produktivitas yang tinggi, hanya mementingkan sholih individual dan kurang memperhatikan shalih social serta yang lainnya.
Stigma negative seperti di atas tentu harus ditinjau ulang. Hal ini karena saat ini telah banyak pula ponpes yang mulai berbenah diri untuk menyempurnakan eksistensinya dalam menyikapi stigma negative tersebut. Bahkan disebagian ponpes yang ada telah dimanajemen dengan menggunakan manajemen modern yang professional. Sehingga kesan negative tersebut tidak terjadi lagi.
Untuk melakukan perubahan terhadap sesuatu budaya yang telah mapan memang tidak mudah. Untuk itu diperlukan kometmen untuk mau dan berani melakukan perubahan. Menurut Jones (1998: 513-515) bahwa perubahan ini tentu bisa dilakukan dengan cara evolusioner dan atau revolusioner.
Upaya melakukan perubahan dari segala aspeknya seperti di atas tentu harus tetap menimbulkan kondisi yang lebih baik, sebab tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang lebih baik. Perubahan yang tidak direncanakan, spontan, acak tentu akan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan dan bisa bersifat merusak (destruktif). Perubahan hendaknya senantiasa mengandung makna beralih dari keadaan sebelumnya (the befor condition) belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas, memiliki stigma negatif menjadi berubah kepada keadaan setelahnya (the after condition) yang sebaliknya. (Winardi, 2010:1)
Namun perlu diingat bahwa melakukan perubahan tidak selalu berlangsung dengan lancar, mengingat bahwa perubahan sering kali disertai aneka macam pertentangan dan konflik yang muncul. Munculnya pertentangan dan konflik ini biasanya datang dari kelompok yang pro akan kemapanan. Hal ini karena mereka terlanjur merasakan enjoy dengan kebiasaan yang telah dilakukan, sehingga tidak mau repot-repot lagi, atau takut terhadap hal-hal yang tidak diketahui, malas dan mengisolasi diri dari mengakses informasi yang terkini,  takut bergesernya kemapanan ekonomi yang telah dinikmati dari segala aspeknya dan yang lainya.
Hal ini seperti yang jelaskan Robbins (1991: 632-644). Menurutnya ada lima macam alasan mengapa individu-individu menentang perubahan:
  1. Perasaan takut terhadap hal-hal yang tidak diketahui
  2. Faktor-faktor ekonomi
  3. Kepastian
  4. Kebiasaan
  5. Pemrosesan informasi secara selektif
Selanjutnya selain dari tentangan perilaku individu seperti penjelasan di atas, ternyata penyebab perubahan tidak selalu berlangsung dengan lancar karena adanya tentangan dari perilaku keorganisasian yang memiliki sifat konservatif.
Menurut Winardi (2010: 7) ada enam penyebab timbulnya tentangan-tentangan keorganisasian yakni:
  1. Ancaman terhadap alokasi sumber-sumber daya yang berlaku
  2. Ancaman terhadap hubungan-hubungan kekuasaan yang sudah mapan,
  3. Ancaman bagi ekspertise (keahlian)
  4. Inertia (kelambanan) struktural
  5. Inertia kelompok
  6. Fokus perubahan yang terbatas
Untuk itu pengelola/pengasuh ponpes dalam hal ini harus berani mengahadapi resiko apapun dan tentangan-tentangan yang terjadi tatkala melakukan perubahan. Namun demikian hrus tetap menggunakan metode/teknik serta menerapkan strategi untuk memperkecil resiko yang tidak diinginkan itu sekecil-kecilnya, tetapi perubahan besar yang diharapkan segera terwujud.
Melakukan perubahan dalam keadaan dan situasi yang penuh dinamika seperti saat ini, apalagi jika telah mengalami kerusakan, kekacauan (turbulence) merupakan sebuah keharusan. Untuk itu upaya melakukan perubahan sudah saatnya tidak boleh ditunda-tunda lagi dan jangan sampai menungguh hingga semuanya mengalami kemunduran serta kehancuran. Jika dalam kondisi semuanya sudah mengalami kemunduran, kehancuran kemudian baru  bergerak, maka percaya atau tidak kita akan menemui dan merasakan penyesalan. Betapa tidak, hal ini menyebabkan ponpes yang dulunya menjadi pusat pendidikan pada akhirnya hanya tinggal bangunannya saja.
Dalam rangka untuk memperkecil resiko dan mengatasi berbagai tentangan terhadap perubahan tersebut maka ada enam macam taktik yang disarankan untuk diterapkan oleh agen perubahan. Adapun taktik yang dimaksud adalah sebagai berikut yakni perlu diberikan pendidikan dan komunikasi yang baik, partisipasi, fasilitas dan bantuan, negosiasi, manipulasi (memanfaatkan informasi dan insenstif agar perubahan bisa diterima) dan kooptasi (mempengaruhi pihak penentang agar membantu perubahan), paksaan (coercion). (Robbins, 1991: 643-644).
Demikian uraian tentang mengelola perubahan ponpes. Untuk itu para pengelola/pengasuh ponpes sudah saatnya perlu memandang kegiatan mereka dalam hal memanaj perubahan sebagai suatu tanggung jawab yang bersifat integral dan bukan sekedar sebagai kegiatan yang sambil lalu. Mereka yang mengabaikannya tentu akan mengalami dampak negative.






* Penulis:
Dosen Fakultas Tarbiyah & Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
Direktur Program Pascasarja STAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo
Direktur Ponpes Mahasiswa Jagad Alimussirry Surabaya

 
Copyright 2011 @ PONPES MAHASISWA JAGAD 'ALIMUSSIRRY !