Tuesday, February 21, 2012

Perlu Merekonstruksi Mindset Kaum Wanita (Kritik Atas Pemikiran Kristen F. Bauer) Oleh: Djoko Hartono


Ada kejanggalan dan kesan kontradiktif materi artikel yang disampaikan Mrs. Kristen F. Bauer orang pertama di konsulat jenderal AS di Surabaya dalam opini metropolis 24/11/2010. Untuk itu mengawali kritik atas tulisan pemikiran Mrs. Kristen F. Bauer, maka perlu kiranya melakukan analisis isi dari opini beliau sebagai konsep verbal komunikasi yang bersifat kampanye melawan kekerasan terhadap perempuan. Dalam ilmu-ilmu sosial analisis isi merupakan teknik pendekatan yang digunakan studi komunikasi untuk mengetahui hakekat, makna dan tujuan yang melandasi proses dinamika masyarakat yang melakukan pembicaraan, propaganda kampanye, baik dengan simbol-simbol, orasi langsung atau melalui penulisan serta apa efek yang menyertainya. Pelopor penerapan analisis isi adalah Lasswell, dkk dalam rangka memenuhi permintaan pemerintah Amerika selama PD II.
Berangkat dari analisis isi ini, maka muncul kritik jika dimungkinkan dalam rangka meluruskan kesadaran dan pemikiran yang dianggap tidak tepat. Dalam pandangan Habermas, kritisisme ditengarahi oleh kemampuan menjadikan unsur yang sebelumnya tidak disadari menjadi disadari sehingga mengubah determinisme kesadaran yang salah. Kritik mengemban tugas menjelaskan komunikasi yang mengalami distorsi. Untuk itu sebelumnya harus disiapkan rancangan ide agar tidak terjadi komunikasi yang keliru dan disimpangkan.
Pada alinea pertama Mrs. Kristen F. Bauer mengatakan bahwa ”Kekerasan terhadap perempuan terjadi di Indonesia ...dan ini penyebabnya kurangnya akses akan pendidikan, pelayanan kesehatan ...” dan seterusnya. Apa yang disampaikan Mrs.  Bauer nampaknya tidak semuanya benar. Di Indonesia pendidikan, pelayanan kesehatan sangat diperhatiakan bahkan sudah mulai digratiskan. Demikian pula pernikahan di bawah umur tidak dibenarkan dan dilarang oleh pemerintah. Kalaulah ada yang seperti dikatakan Mrs. Bauer tentu itu sifatnya kasuistik dan perlu dikomunikasikan pada subjeknya, mengapa ia diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Atau jangan-jangan wanita yang menjadi objek kekerasan karena ia sendiri memposisikan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang tidak berdaya.
Walaupun tidak secara eksplisit menuduh kaum pria sebagai penyebab terjadinya kekerasan pada kaum wanita, namun secara implisit Mrs. Bauer mengarahkan penyebabnya adalah kelompok laki-laki. Dengan ungkapan dan kata-kata yang halus dan sopan dalam alinea kelima beliau berkata: ”Kita harus mendukung keterlibatan para pria dan remaja pria dalam mencegah kekerasan dan ... para pria bisa juga menjadi korban...”. Kalimat senada beliau ulangi lagi dalam alinea kesembilan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan yakni dengan melakukan kerjasama dengan LSM dan melibatkan para pria.
Kalau dicermati dari penjelasan di atas, nampak Mrs. Bauer tidak konsisten dengan tema besar yang diusungnya. Hakikat pemikiran yang dikampanyekan justru memiliki efek melemahkan posisi kaum wanita sendiri, seakan mereka tidak bisa lepas dari problem kekerasan yang menimpanya tanpa bantuan kaum pria karena dianggap yang menjadi aktor pelaku adalah pria dan yang bisa menghentikan juga kaum pria. Ini sama saja membangun (menkonstruk) pemahaman yang keliru dan mengokohkan mindset kaun wanita yang ada selama ini bahwa dirinya memang makhluk Tuhan yang lemah dan tak berdaya sehingga dirinya menjadi lebih tak berdaya dihadapan para pria.
Dalam kampanye melawan kekerasan berbasis gender, nampak jelas dalam alinea keenam, ketujuh, dan keempat belas, Mrs. Bauer menggunakan tiga simbul yang diunggulkan yakni resolusi dewan keamanan PBB nomor 1325, dan Amerika Serikat sebagai pemimpin pencapaian tujuan yang ditentukan dalam resolusi bersejarah tersebut serta menteri luar negeri AS Hillary Clinton.
Mrs. Bauer seharusnya tidak hanya mengedepankan resolusi DK PBB seperti tersebut di atas bagaikan kitab suci, hal ini karena jauh sebelum resolusi dewan keamanan PBB itu dicanangkan kitab suci atau ajaran agama yang ada di muka bumi ini tentu sudah mencanangkan melawan kekerasan terhadap perempuan dan menempatkan wanita memiliki peran yang sejajar dengan kaum laki-laki. Dikalangan orang Hindu dalam cerita pewayangan peran wanita ditonjolkan sebagai sosok Srikandi. Dalam agama samawi dikisahkan sosok Bunda Maria (agama Kriten) / Ibu Mariam dalam agama Islam yang mendapat penghargaan menjadi sebuah surat, di samping itu jenis kelamin wanita diabadikan sebagai nama surat yakni Surat an-Nisa’ (wanita) dalam kitab suci al-Qur’an.
Selanjutnya Mrs. Bauer, harusnya tidak mesuperiorkan AS sebagai pemimpin mencapai tujuan yang ditentukan dalam resolusi DK PBB itu dan menonjolkan menteri luar negeri AS Hillary Clinton yang seorang wanita. Justru sebaliknya sejatinya secara empirik yang menjadi pemimpin mewujudkan tujuan resolusi DK PBB tersebut sehingga harkat martabat perempuan menjadi terangkat salah satunya adalah negara Indonesia. Negara Indonesia tidak hanya mempunyai wanita-wanita yang mampu dan berani menunjukkan harkat martabatnya hingga menjadi  bupati, walikota, atau menteri. Wanita yang menjadi Presiden (Kepala Negara) pun telah ada di Indonesia dan ini belum terjadi di negara AS.
Beberapa langkah yang ditawarkan Mrs. Bauer untuk mengangkat harkat martabat wanita agar tidak dijadikan objek kekerasan nampaknya belum menyentuh core / subtansinya kecuali pada alinea pertama hanya sekedar himbauan agar kaum wanita diberi akses pendidikan yang baik dan pada alinea ketujuah beliau menawarkan agar kaum wanita melakukan aktivitas yang mampu memberikan kontribusi di setiap aspek yang ada. Pada alinea kesembilan dijelaskan dengan memberi pelatihan, bekerja sama dengan LSM dan melibatkan para pria dan melakukan kerja sama dengan pemuka agama.
Agar harkat martabat kaum wanita menjadi terangkat dan tidak dijadikan objek kekerasan dengan menawarkan langka-langka di atas nampaknya akan menjadi tidak bermakna, mandul dan tidak memberi efek positif selagi mindset kaum wanita tidak direkonstruksi. Kaum wanita akan menjadi tampil mengangkat harkat martabatnya sendiri dan akan mampu menghindari kekerasan yang menimpanya jikalau otaknya dicuci dari mindset yang sudah tertanam sebelumnya bahwa dirinya lemah, tak berdaya, makhluk nomor dua setelah laki-laki.
Sebaliknya yang perlu ditanamkan dalam mindset kaum wanita saat ini adalah  bahwa kaum wanita sejatinya patner kaum laki-laki yang memiliki soft power untuk menjadi khalifah / wakil Tuhan untuk pengelola jagad raya ini yang sejajar dengan kaum laki-laki sehingga terjadi kelangsungan kehidupan yang nyaman, aman, damai, tentram, makmur dan sejahtera penuh rahmat dan kasih sayang Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dengan merekonstruksi mindset seperti ini maka langkah-langkah dan jalan yang ditawarkan Mrs. Bauer sebagai kampanyenya untuk melawan kekerasan berbasis gender justru akan lebih cepat terwujud. Dengan mengedepankan dan menanamkan pemahaman bahwa sejatinya kaum wanita memiliki potensi yang luar biasa dan perlu dirinya memberdayakan potensi itu, serta dirinya sejatinya memiliki peran sejajar untuk menjadi patner kaum pria maka kaum wanita akan menjadi tergerak untuk terus mau mengkualitaskan dirinya dengan mengikuti pelatihan dan pendidikan yang telah ada.
Dengan memiliki pendidikan yang berkualitas dan kepercayaan diri yang tinggi maka kaum wanita menjadi berani melangkah untuk beraktivitas yang bermakna sehingga kaum wanita mampu menyumbangkan kontribusi yang signifikan mewujudkan peradaban dunia dengan tangan-tangan lembutnya. Kaum wanita tidak lagi merasa dirnya tidak berdaya dan tidak mampu melawan kekerasan jika tanpa bantuan kaum laki-laki. Kampanye melawan kekerasan berbasis gender seperti yang dilakukan Mrs. Bauer akan berhasil dan terwujud, sejatinya berpulang pada kaum wanita sendiri dengan langkah awal mau merekonstruksi mindset-nya. Selamat berjuang melawan kekerasan.

*)  Penulis: Dr. Djoko Hartono, M.Ag, M.M
Alumni Mahasiswa Program Doktor IAIN Sunan Ampel Sby.
Sekarang Sebagai Direktur Ponpes Mahasiswa Jagad ’Alimussirry Surabaya

 
Copyright 2011 @ PONPES MAHASISWA JAGAD 'ALIMUSSIRRY !