Wednesday, May 30, 2012
Bekerja Sebuah Ibadah (Oleh Dr. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, M.M)
Allah SWT menciptakan dan
menghadirkan manusia di muka bumi ini sejatinya bukan tanpa tujuan. Ada dua
tujuan setidaknya maksud Allah menghadirkan manusia di dunia ini. Tujuan yang
yang pertama dan sangat esensial sekali seperti yang tertera dalam al-Qur’an
surat al-Dzariyat: 56 yakni agar manusia ini beribadah, mengabdi kepada Allah
dengan segala bentuknya. Namun demikian seorang mufassir kenamaan dan termasuk
salah satu sahabat Nabi SAW, Ibnu Abbas r.a menafsirkan ayat di atas ‘ibadah’
yakni agar manusia hadir di muka bumi ini untuk bermakrifat (mengetahui) Allah.
Untuk mencapai tingkat makrifatullah ini tentu manusia harus
melakukan riadho/mujahadah (beribadah). Dalam kalangan kaum sufi, agar mereka
mampu mencapai tingkatan makrifat Allah maka harus melakukan tarikat yakni
jalan menuju perjumpaan dengan Allah. Sedang menurut Syaikh Abdul Qadir
Jailaini tokoh sufi ternama untuk mencapai perjumpaan dengan Allah ini seorang
muslim bisa melakukannya dengan cara shalat. Dengan melakukan cara-cara sufi
ini diharapkan seorang muslim setelah melakukan mujahadah, riadho, shalat,
hatinya senantiasa tetap berkomunikasi dengan-Nya baik waktu di masjid (tempat
ibadah), di rumah, di jalan, di kantor, pasar dan tempat lainnya sambil tetap
memberdayakan potensi akal fikirannya untuk memikirkan kekuasaan Allah yang ada
di muka bumi ini. Hal ini sangat penting karena tujuan Allah yang kedua
menghadirkan manusia di muka bumi ini adalah untuk menjadi khalifah (pengelola)
dunia ini.
Tujuan Allah menghadirkan manusia di muka bumi sebagai
khalifah seperti dalam penjelasan di atas dapat kita ketahui melalui
firman-Nya. Hal ini seperti yang termaktub dalam al-Qur’an al-Baqarah: 30. Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka
bumi...” .
Khalifah yang dimaksud dalam ayat ini menurut Ibnu Katsir
dalam kitab tafsirnya yakni kaum (manusia) yang silih berganti, abad demi abad,
generasi demi generasi menghuni bumi untuk menjadi penguasa. Mereka adalah
kelompok para Nabi, Rasul, Siddiqin, Syuhada’ dan orang-orang shalih yang
benar-benar taat mengikuti ajaran Allah dan jejak para Nabi. Menurut Ibnu
Jabir, khalifah dimaksud dalam ayat di atas adalah Adam dan orang-orang yang
mengikuti jejaknya dalam ketaatan kepada Allah Swt. Mereka menjadi pengganti
Allah dalam menjalankan hukum secara adil.
Kalau kita cermati dari berbagai pandangan mufassir di atas
baik dari kalangan para sahabat Nabi dan mufassir setelahnya maka tujuan Allah
menghadirkan manusia di muka bumi ini agar di antara mereka menjadi makhluk
yang bisa menciptakan dan mengelola bumi ini agar tercipta kehidupan yang aman,
damai, tenteram, adil, sejahtera. Untuk itu manusia harus melakukan kerja
sebaik-baiknya dan tidak melanggar aturan-aturan Allah. Mereka ini menurut
al-Qurthubi harus menjadi imam (pemimpin) yang adil.
Sedang Nabi Saw sendiri mengingatkan kepada kita bahwa setiap
diri manusia adalah pemimpin dan setiap manusia nanti akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Untuk itu manusia harus menyadari akan keberadaannya di muka
bumi ini, untuk apa mereka hidup dan apa yang telah dilakukannya selama
hidupnya ini. Bagi yang berkeluarga maka akan ditanya tentang kepemimpinannya
dalam rumah tangganya. Bagi yang bekerja akan ditanya tentang pekerjaan yang
telah dilakukannya. Apakah semua telah memenuhi harapan Allah. Untuk itu selama
manusia bekerja dalam rangka menjalankan perintah Allah maka ia memiliki nilai
ibadah di hadapan Allah.
Dalam hal ini Allah mengingatkan kepada manusia agar
senantiasa semangat bekerja untuk kehidupan dunia. Semua ini seperti yang
difirmankan Allah dalam al-Qur’an surat al-Qashash: 77. Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan”.
Menyikapi ayat di atas, menurut Ibnu Katsir bahwa seseorang
yang bekerja hingga ia menjadi kaya raya, hendaknya kekayaan yang diberikan
Allah kepadanya digunakan untuk beribadah kepada-Nya dan berbuat baik kepada
sesama manusia dengan jalan menafkahkan sebagaian dari harta kekayaannya untuk
menolong mereka yang membutuhkan pertolongan. Selain itu hartanya hendaknya
juga digunakan pula untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk makan,
minum, pakaian, perkawinan (keluarga), perumahan asal tidak melampau batas.
Selanjutnya harta kekayaan tersebut hendaknya tidak digunakan untuk berbuat
kerusakan dan berlaku sewenang-wenang di atas bumi ini. Hal ini karena Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Sebagai umat Islam yang baik, maka seyogyanya ia harus
benar-benar menjalankan perintah Allah Swt untuk beribadah baik secara khusus
atau pun secara umum. Bertitik tolak dari semua ini maka diharapkan umat Islam
akan menjadi sosok yang shalih secara individual dan social. Hal ini karena
setelah ia melakukan kerja duniawi semua hasil daripadanya hendaknya digunakan
untuk pengabdian kepada Allah. Ia menjadi bertanggungjawab terhadap pemenuhan
kewajibannya mecukupi dan mensejahterakan keluarga dan rumah tangganya, dengan
hartanya ia memenuhi perintah Allah menyantuni para dhuafa, anak yatim piatu,
fakir miskin, dan mentasharufkan di jalan Allah guna menghidupkan syiar agama,
membangun dan menghidupkan madrasah, masjid, pesantren, serta fasilitas umat
yang lain. Ketika menjadi pejabat maka ia berusaha mensejahterakan bawahan dan
rakyatnya. Semua itu dilakukan dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai
khalifah (pemimpin) agar terjadi kehidupan yang damai, sejahtera, aman, tata tentren karta raharja sehingga
terwujud negeri seperti yang diharapkan Allah yakni baldatun thayyibatun wa robbun ghofur.
Kita perlu mengingat kembali bahwa bekerja merupakan bentuk
ibadah. Bersemangatlah untuk melakukannya seakan-akan kita hidup selamanya.
Semua akan memiliki nilai akhirat jika dalam pelaksanaanya kita maksudkan dalam
rangka melakukan perintah Allah. Sebaliknya betapa banyak orang yang secara
lahiriyah nampak melakukan ibadah semisal shalat, baca al-Qur’an, puasa, dan
lain, namun karena di antara mereka hanya ingin dipuji dan mengharap
penghargaan dari makhluk maka ia sedikitpun tidak mendapatkan nilai akhirat
sedang yang ia dapatkan hanya nilai duniawi, penghargaan dan pujian dari
manusia lain.
Mengakhiri dari tulisan ini maka perlu kita sadari bahwa
sejatinya Islam merupakan agama yang mengajarkan kesempurnaan. Hal ini karena
Islam mengajarkan dan mengajak manusia agar menjadi sosok yang sempurna/ideal.
Manusia yang ideal adalah mereka yang menjalani hidup ini dengan cara
menyeimbangkan untuk urusan duniawinya dan akhirat secara bersama-sama. Semua
dilakukannya semata-mata hanya mengharap keridhaan Allah Swt. Semoga Allah
menjadikan kita kelompok manusia yang sukses, bahagia dan selamat di dunia dan
akhirat, yang senatiasa mendapat bimbingan dan keberkahan hidup daripada-Nya.