Monday, September 22, 2014
Antara Hati dan Logika Oleh Dr. Ahmadun Najah, M.H.I
Hati
dan logika sama2 digunakan, di pakai, dan di maksimalkan. Kedua potensi itu
dari Allah yang harus digunakan secara proposional.Kita harus bisa menyesuaikan
kapan menggunakan hati dan kapan pula kita menggunakan logika. Saat ingin
menggunakan antara keduanya kita harus bergantung pula dengan kondisi dan
object yang sedang kita hadapi sehingga tidak ada yang tersakiti antara hati
dan logika kita. Jangan pernah mempertentangkan keduanya, seharusnya kita harus
mampu mensinergikan dan mengkombinasikan antara hati dan logika kita agar tidak
terjadi brontak antar keduanya. Allah SWT telah menganugrahkan dua potensi ini
kepada setiap manusia dan kita patut menggunakan sebaik dan seseimbang mungkin
sebagai bentuk dan ungkapan syukur kita kepada Allah yang telah menganugrahi
dua hal yang sangat penting dan berarti bagi hidup kita.
Allah
juga telah memerintahkan kepada hamba-NYA menggunakan akalnya untuk berfikir.
Menurut penelitian, sebuah kata akal dalam Al-Qur’an merupakan kata kerja. Bukanlah kata benda, artinya akal kita
juga harus digunakan, diaktifkan,
dibudayakan sebagaimana mestinya.
Hati,
dalam Al-qur’an Allah banyak menyinggung
orang-orang yang hatinya tidak bersih/sehat dan keras. Saking pentingnya hati
bagi manusia, Allah telah menaskan dalam Al-Qur’an bahwasannya di hari kiamat
nanti orang tidak akan selamat jika hatinya tidak sehat.
Dalam
belajar ilmu eksakta yang sangat digunakan yaitu akal dan logika kita, bukan lagi hati atau perasaaan kita. Bisa di
banyangkan jika kita menggunakan perasaan maka tidak akan pernah ada yang
namanya percobaan tentang anatomi karena kita tidak tega saat melihat hewan di
bedah sebagai bahan percobaan. Jika kita menggunakan akal dan logika maka
dengan mudah kita bisa menemukan cara bagaimana memecahkan masalah dan kita
bisa bertindak sebagaimana mestinya untuk kedepannya karena kita juga harus
berfikir kritis.
Ilmu-ilmu
psikologi, agama(ibadah) harus menggunakan hati (menghadirkan hati) dalam
setiap langkah kita. Begitu juga dengan
ilmu-ilmu yang berhubungan antar personal, terlebih dalam ilmu pendidikan kita
harus pintar-pintar mengelolanya. Harus bisa mensinkronkan antara hati kita
dengan hati orang yang sedang berhadapan dengan kita. Seperti kata orang jawa “
jadilah orang yang bisa merasa bukan orang yang merasa bisa”. Secara sosiologis
masyarakat lebih banyak mengagungkan akal daripada hati untuk sebagian mungkin
mau, tp agama tidak mau. Padahal keduanya sama-sama penting dalam hidup kita
untuk memperbaiki IPTEK dan IMTAQ.
Alm.
K.H. Zainuddin MZ “kita harus membangkitkan orang-orang islam, otak kita
seperti jerman, hati kita seperti makkah”.