Stigma buruk akan manajemen pondok pesantren
(ponpes) di negeri ini nampaknya belum lenyap betul. Jeleknya manajemen ponpes
menyebabkan institusi pendidikan nonformal ini dianggap sebagai lembaga
pendidikan yang tetap melanggengkan status qua-nya sebagai institusi pendidikan
yang tradisional, konservatif, dan terbelakang.
Hal ini seperti yang disampaikan Mujamil
Qomar (2007: 58) bahwa, pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia… Hanya saja, usia pesantren yang begitu tua tidak memiliki
korelasi yang signifikan dengan kekuatan atau kemajuan manajemennya. Kondisi
manajemen pesantren tradisional hingga saat ini sangat memprihatinkan, suatu
keadaan yang membutuhkan solusi dengan segera untuk menghindari ketidak pastian
pengelolaan yang berlarut-larut.
Anehnya institusi pendidikan ini tetap
diminati masyarakat dan tetap eksis dari tahun ke tahun. Namun demikian tidak
sedikit di antara ponpes yang ada, yang dulu memiliki banyak santri kemudian
menjadi tidak berpenghuni. Hingga belakangan muncul ponpes tanpa santri.
Memasuki era globalisasi, keberadaan ponpes
sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di negeri ini tentu harus dikelola (manaj)
dengan lebih professional jika tidak ingin ditinggalkan masyarakat sebagai stakeholder.
Arus global saat ini menjadikan dunia
informasi dan pengetahuan semakin mudah diakses masyarakat. Untuk itu tidak
menaruh kemungkinan ponpes yang dulu dijadikan pusat kajian keislaman dan
pengamalannya sekaligus, pada saatnya menjadi tidak diminati dan ditinggalkan
masyarakat sebagai pengguna jasa.
Hal ini sangat beralasan karena kecenderungan
masyarakat saat ini dalam mengkaji, memahami dan mengamalkan ajaran keagamaan
dari hasil penelitian penulis cenderung mengalami kesadaran. Mereka menjadi
santri dalam ruang global, dalam dunia maya, yang kehadiarannya tanpa terikat
dengan sekat dinding dan pagar yang tinggi mengelilingi dan membatasi aktivitas
kesehariannya.
Dari hasil laporan penelitian yang penulis
lakukan pada tahun 2009/2010 terhadap 30 kepala sekolah favorit yang bernuansa
Islam di Surabaya menunjukkan bahwa mereka yang bukan alumni ponpes dengan
jumalah 15 orang, pemahaman dan tingginya kesadaran untuk melaksanakan sebagian
dari ajaran Islam (spiritualitas) cenderung hampir menyamai bahkan ada yang lebih
baik dari pada mereka yang alumni ponpes yang jumlahnya 15 pula. (Djoko Hartono,
2011: 84)
Tabel.
1
Pemahaman
dan Kesadaran Aktivitas Keagamaan
Bentuk Aktivitas
|
Alumni Ponpes
|
Bukan
Alumni Ponpes
|
Salat
Tahajud
|
12 Orang
|
10 Orang
|
Salat
Duha
|
10 Orang
|
8 Orang
|
Salat
Hajat
|
6 Orang
|
7 Orang
|
Puasa
Senin Kamis
|
8 Orang
|
7 Orang
|
A. Urgensi
Pengembangan Manajemen Bagi Pondok Pesantren (Ponpes)
Para ahli nampaknya berpandangan tidak sama di dalam
mendefinisikan manajemen itu sendiri. Untuk itu tidak mudah memberi arti
universal yang dapat diterima oleh semua orang. Namun demikian kebanyakan para
pakar menyatakan bahwa manajemen sejatinya merupakan suatu proses yang
menggunakan kemampuan atau keahlian untuk mencapai tujuan dan dalam
pelaksanaannya dapat mengikuti alur keilmuan secara ilmiah dan dapat pula
menonjolkan kekhasan atau gaya manajer dalam mendayagunakan kemampuan orang
lain.
Setiap pembicaraan yang di arahkan kepada manajemen maka yang
terlintas seringkali adalah perusahaan-perusahaan besar, raksasa, maju,
berkelas dunia. Sesungguhnya penerapan dan pengembangan manajemen yang baik dan
professional bukan hanya dibutuhkan dan milik perusahaan-perusahaan yang sukses
tersebut. Manajemen sejatinya merupakan bagian ilmu pengetahuan yang bersifat
universal. Selain sebagai ilmu, manajemen sejatinya juga sebagai seni, yang
eksistensinya juga dibutuhkan untuk semua tipe kegiatan yang diorganisasi dan
dalam semua tipe organisasi. Dalam prakteknya manajemen dibutuhkan dan penting
untuk dikembangkan di mana saja jika ada sekolompok orang bekerja bersama
(berorganisasi) untuk mencapai tujuan bersama (Handoko, 1999: 3).
Manajemen dikatakan sebagai ilmu selain karena bersifat
universal, ia mempergunakan kerangka ilmu pengetahuan yang sistematis, mencakup
kaidah-kaidah, prinsip-prinsip dan konsep-konsep serta dapat diterapkan dalam
semua organisasi manusia. (Handoko, 1999: 6)
Adapun menurut Mulyati dan Komariah (2009: 86), bahwa
manajemen dikatakan sebagai ilmu karena menekankan perhatian pada keterampilan
dan kemampuan manajerial yang menyangkut keterampilan / kemampuan teknikal,
manusiawi, dan konseptual. Sedang manajemen sebagai seni karena tercermin dari
perbedaan gaya (style) seseorang dalam menggunakan atau memberdayakan
orang lain untuk mencapai tujuan.
Selain sebagai ilmu dan seni, manajemen menurut Mulyati dan
Komariah ternyata juga sebagai proses. Hal ini karena aktivitas manajemen itu
membutuhkan langkah yang sistematis dan terpadu.
Untuk itu maka pengembangan manajemen tidak hanya berguna
bagi organisasi yang berorientasi profit (bisnis). Pengembangan
manajemen sejatinya juga berguna bagi organisasi seperti ponpes, rumah sakit,
sekolah dan yang lain. Adapun urgensi pengembangan manajemen ini sesungguhnya
sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi yang diinginkan. Dengan manajemen,
daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen akan dapat
ditingkatkan.(Hasibuan, 2001:1)
Sedangkan unsur-unsur manajemen itu sendiri terdiri dari man,
money, methode, machines, materials dan market serta spirituality.
Ketujuh unsur ini sesungguhnya menjadi asset organisasi apa saja, yang jika
dikelola (manaj) dengan baik tentu akan menghantarkan organisasi
tersebut mencapai kesuksesan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. (Djoko Hartono, 2011: 8).
Selanjutnya menurut Handoko (1999: 6-7) urgensi pengembangan
manajemen bagi sebuah organisasi termasuk di sini untuk ponpes yakni :
- Untuk
mempermudah organisasi (ponpes) mencapai tujuan yang diharapkan.
- Untuk menjaga
keseimbangan di antara tujuan-tujuan, sasaran-sasaran dan
kegiatan-kegiatan yang saling bertentangan dari pihak-pihak yang
berkepentingan dalam organisasi seperti pemilik dan tenaga
pendidik/kependidikan, peserta didik, orang tua, masyarakat, pemerintah
dan yang lainnya.
- Untuk
mencapai efisiensi dan efektifitas kerja organisasi dalam rangka meraih
tujuan yang ada.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembangan
manajemen sangat urgen bagi ponpes dalam menghadapi globalisasi. Eksistensi
manajemen sangat dibutuhkan ponpes itu sendiri. Karena tanpa manajemen, semua
usaha akan menjadi sia-sia, tidak terarah dan pencapaian tujuan ponpes yang ada
akan lebih sulit dan tidak optimal.
B. Pengembangan
Bidang-Bidang Manajemen Pondok Pesantren
Uraian di atas telah menyinggung tentang definisi manajemen
yang di antara para pakar berbeda-beda dalam mendefinisikannya. Hal ini bisa
dilihat dari pernyataan Stoner (1982:8) bahwa manajemen adalah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota
organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Gulick (1965: 14) mendefinisikan bahwa
manajemen adalah suatu bidang ilmu pengetahuan (science) yang berusaha
secara sistematis untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja bersama
untuk mencapai tujuan dan membuat system kerjasama ini lebih bermanfaat bagi
kemanusiaan.
Menurut Gulick manajemen telah memenuhi persyaratan untuk
disebut bidang ilmu pengetahuan, karena telah dipelajari untuk waktu yang lama
dan telah diorganisasi menjadi suatu rangkaian teori. Teori-teori ini masih
terlalu umum dan subjektif. Akan tetapi teori manajemen selalu diuji dalam
praktek, sehingga manajemen sebagai ilmu akan terus berkembang.
Sedang menurut Follett bahwa manajemen adalah seni dalam
menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Untuk itu manajemen sesungguhnya
bukan hanya merupakan ilmu atau seni, tetapi kombinasi dari keduanya. Kombinasi
ini tidak dalam proporsi yang tetap tetapi dalam proporsi yang bermacam-macam
dan terus mengalami pengembangan.
Akibat pengembangan manajemen ini maka akan kita temui
bidang-bidang manajemen yang meliputi :
- Manajemen sumber daya manusia
- Manajemen keuangan
- Manajemen produksi
- Manajemen pemasaran
- Manajemen layanan
- Manajemen perkantoran
- Manajemen struktur organisasi
- Manajemen orang tua
- Manajemen risiko
- Manajemen mutu
- Manajemen konflik
- Manajemen perubahan
- Manajemen strategi
- Manajemen kelas
- Manajemen system informasi
dan teknologi
- Manajemen kurikulum
- Manajemen peserta didik
- Manajemen tenaga didik dan
kependidikan
- Manajemen kepemimpinan
- Manajemen lingkungan
- Manajemen sarana prasarana
Bidang-bidang manajemen tersebut tentu dalam implementasinya
bisa diterapkan dan dikembangkan dalam pondok pesantren (ponpes) sebagai
lembaga pendidikan nonformal yang ada. Para pengasuh/pengelola ponpes akan
lebih baik jika dalam menjalankan roda organisasi mampu mengelola bidang-bidang
tersebut.
Lebih-lebih ponpes yang ada di arus globalisasi, harus terus
berbenah diri dan siap melakukan perubahan jika tidak ingin ditinggalkan
masyarakat sebagai stakeholder, pengguna jasa ponpes. Suka tidak suka
semua akan merasakan dan hidup dalam era millennium ketiga ini. Dalam
era ini wajah dunia dari hari ke hari kian berubah. Perubahan itu benar-benar
kasat mata di sekitar kita.
Perubahan tersebut ditandai dengan adanya fenomena bangunan
fisik, produk teknologi, mobilitas penduduk, media komunikasi, system
transportasi, arus informasi, arus barang, jasa dan lainnya.
Perubahan-perubahan ini tentu juga akan berpengaruh terhadap wajah peradaban
umat manusia. (Sudarwan Danim, 2010: 1). Untuk itu ponpes sebagai institusi
pendidikan Islam nonformal tertua di negeri ini nampaknya perlu juga mereposisi
manajemen yang ada sebelumnya. Selanjutnya para pengelola/pengasuh ponpes harus
berani dan mau mengembangkan manajemen yang ada guna mengantisipasi perubahan
zaman saat ini dan yang akan datang.
Hal ini karena era sekarang dan masa mendatang menuntut
manusia dan organisasinya memiliki daya adaptabilitas dan mutu yang tinggi
untuk dapat eksis dan kompetitif. Mereka yang mampu menyiapkan diri dengan mutu
yang tinggi akan menjelma menjadi pemenang. Sedang mereka yang tidak mampu
menyiapkan diri maka akan menjadi kelompok yang kalah (losers).
Menyikapi fenomena dalam era globalisasi ini, KH. Sahal
Mahfudz (1994) mengatakan bahwa, “Kalau pesantren ingin berhasil dalam
melakukan pengembangan masyarakat, maka pesantren harus melengkapi dirinya
dengan tenaga yang terampil mengelola (memanajemen) sumber daya yang ada di
lingkungannya, di samping syarat lainnya. Pesantren harus tetap menjaga
potensinya sebagai lembaga pendidikan”. (Sulthon Masyhud, dkk, 2003: 19)
Untuk itu ponpes tidak boleh tergilas dengan zaman dan
kemudian musnah. Ponpes dalam eksistensinya tidak boleh menutup (mengisolasi)
diri dari perubahan dan perkembangan zaman, tetapi ponpes tetap harus berani
menunjukkan eksistensi diri sebagai lembaga pendidikan Islam yang tetap
memiliki kekhasannya. Dalam filosofi orang jawa dikatakan, “bakal teko jaman
perubahan lan kemajuan, siro keno ngeli ning ojo keli”. Akan datang jaman
perubahan dan kemajuan, manusia boleh mengikuti arus perubahan akan tetapi
jangan terhanyut dalam arus tersebut. Untuk itu manajemen sangat dibutuhkan
ponpes jika ingin tetap eksis dan terus ikut memberi kontribusi positif serta
turut mewarnai peradaban dunia di era globalisasi dalam millennium ketiga saat
ini.
C. Mengelola
Perubahan Pondok Pesantren
Manajemen perubahan adalah suatu proses sistematis dalam
menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan untuk
mempengaruhi perubahan. Adapun manfaat manajemen perubahan ini sejatinya untuk
memberikan solusi dari dampak perubahan yang ada dengan menggunakan metode
serta melakukan pengelolaan dampak perubahan tersebut secara terorganisir. (Nur Nasution, 2010: 20).
Ada banyak stigma negative yang di alamatkan kepada ponpes
dalam perkembangannya. Terlepas dari banyak pula kontibusi positif ponpes yang
diberikan kepada masyarakat dan bangsa ini. Kritikan ini patut disikapi dengan
arif dan tidak mengedepankan emosional. Demi kebaikan dan penyempurnaan dalam
memberikan pelayanan kepada umat tidak ada salahnya kalau kita melakukan
evaluasi internal.
Di antara stigma negative tersebut misalnya, dikelola dengan
kepemimpinan sentralistik, rigit, otoriter, diajar dan dididik para ustadz yang
konservatif, lingkungan yang kumuh, kurikulumnya klasik, system social yang
tertutup sehingga jauh dari sentuhan informasi dan teknologi yang telah
berkembang di dunia luar, kumpulan orang-orang malas (nglomprot), tidak
memiliki produktivitas yang tinggi, hanya mementingkan sholih individual dan
kurang memperhatikan shalih social serta yang lainnya.
Stigma negative seperti di atas tentu harus ditinjau ulang.
Hal ini karena saat ini telah banyak pula ponpes yang mulai berbenah diri untuk
menyempurnakan eksistensinya dalam menyikapi stigma negative tersebut. Bahkan
disebagian ponpes yang ada telah dimanajemen dengan menggunakan manajemen
modern yang professional. Sehingga kesan negative tersebut tidak terjadi lagi.
Untuk melakukan perubahan terhadap sesuatu budaya yang telah
mapan memang tidak mudah. Untuk itu diperlukan kometmen untuk mau dan berani melakukan perubahan. Menurut Jones (1998:
513-515) bahwa perubahan ini tentu bisa dilakukan dengan cara evolusioner dan
atau revolusioner.
Upaya melakukan perubahan
dari segala aspeknya seperti di atas tentu harus tetap menimbulkan kondisi yang
lebih baik, sebab tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang
lebih baik. Perubahan yang tidak direncanakan, spontan, acak tentu akan
menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan dan bisa bersifat merusak (destruktif).
Perubahan hendaknya senantiasa mengandung makna beralih dari keadaan sebelumnya
(the befor condition) belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas,
memiliki stigma negatif menjadi berubah kepada keadaan setelahnya (the after
condition) yang sebaliknya. (Winardi, 2010:1)
Namun perlu
diingat bahwa melakukan perubahan tidak selalu berlangsung dengan lancar,
mengingat bahwa perubahan sering kali disertai aneka macam pertentangan dan
konflik yang muncul. Munculnya pertentangan dan konflik ini biasanya datang
dari kelompok yang pro akan kemapanan. Hal ini karena mereka terlanjur
merasakan enjoy dengan kebiasaan yang telah dilakukan, sehingga tidak
mau repot-repot lagi, atau takut terhadap hal-hal yang tidak diketahui, malas
dan mengisolasi diri dari mengakses informasi yang terkini, takut bergesernya kemapanan ekonomi yang
telah dinikmati dari segala aspeknya dan yang lainya.
Hal ini seperti
yang jelaskan Robbins (1991: 632-644). Menurutnya ada lima macam alasan mengapa
individu-individu menentang perubahan:
- Perasaan takut terhadap hal-hal yang tidak
diketahui
- Faktor-faktor ekonomi
- Kepastian
- Kebiasaan
- Pemrosesan informasi secara selektif
Selanjutnya selain
dari tentangan perilaku individu seperti penjelasan di atas, ternyata penyebab
perubahan tidak selalu berlangsung dengan lancar karena adanya tentangan dari
perilaku keorganisasian yang memiliki sifat konservatif.
Menurut Winardi
(2010: 7) ada enam penyebab timbulnya tentangan-tentangan keorganisasian yakni:
- Ancaman terhadap alokasi sumber-sumber daya
yang berlaku
- Ancaman terhadap hubungan-hubungan kekuasaan
yang sudah mapan,
- Ancaman bagi ekspertise (keahlian)
- Inertia (kelambanan) struktural
- Inertia kelompok
- Fokus perubahan yang terbatas
Untuk itu
pengelola/pengasuh ponpes dalam hal ini harus berani mengahadapi resiko apapun
dan tentangan-tentangan yang terjadi tatkala melakukan perubahan. Namun
demikian harus tetap menggunakan metode/teknik serta menerapkan strategi untuk
memperkecil resiko yang tidak diinginkan itu sekecil-kecilnya, tetapi perubahan
besar yang diharapkan segera terwujud.
Melakukan
perubahan dalam keadaan dan situasi yang penuh dinamika seperti saat ini,
apalagi jika telah mengalami kerusakan, kekacauan (turbulence) merupakan
sebuah keharusan. Untuk itu upaya melakukan perubahan sudah saatnya tidak boleh
ditunda-tunda lagi dan jangan sampai menungguh hingga semuanya mengalami
kemunduran serta kehancuran. Jika dalam kondisi semuanya sudah mengalami
kemunduran, kehancuran kemudian baru
bergerak, maka percaya atau tidak kita akan menemui dan merasakan
penyesalan. Betapa tidak, hal ini menyebabkan ponpes yang dulunya menjadi pusat
pendidikan pada akhirnya hanya tinggal bangunannya saja.
Dalam
rangka untuk memperkecil resiko dan mengatasi berbagai tentangan terhadap
perubahan tersebut maka ada enam macam taktik yang disarankan untuk diterapkan
oleh agen perubahan. Adapun taktik yang dimaksud adalah sebagai berikut yakni
perlu diberikan pendidikan dan komunikasi yang baik, partisipasi, fasilitas dan
bantuan, negosiasi, manipulasi (memanfaatkan informasi dan insentif agar
perubahan bisa diterima) dan kooptasi (mempengaruhi pihak penentang agar
membantu perubahan), paksaan (coercion). (Robbins, 1991: 643-644).
Demikian uraian tentang mengelola perubahan ponpes. Untuk itu
para pengelola/pengasuh ponpes sudah saatnya perlu memandang kegiatan mereka
dalam hal memanaj perubahan sebagai suatu tanggung jawab yang bersifat integral
dan bukan sekedar sebagai kegiatan yang sambil lalu. Mereka yang mengabaikannya
tentu akan mengalami dampak negative.