Friday, December 16, 2011
Studi Kelayakan Pondok Pesantren: Menakar Eksistensi Pondok Pesantren di Era Globalisasi
A.
Pondok Pesantren dan Globalisasi
Ponpes sejatinya merupakan
institusi pendidikan Islam nonformal, swasta yang eksistensinya sejak munculnya
mengalami perubahan dan perkembangan, serta tetap bertahan dengan
karakteristiknya yang khas. (Masyhud, dkk, 2003: 4). Di antara ponpes tersebut
dalam perjalanannya ada yang telah melakukan perubahan dan banyak pula yang
masih mempertahankan system pendidikan tradisionalnya. Untuk itu secara umum
ponpes dalam penerapan manajemennya boleh dikata masih konvensional dan
menghadapi kendala serius menyangkut ketersediaan sumber daya manusia (SDM)
yang kurang professional pula.
Hal ini misalnya dapat
dilihat dari tiadanya pemisahan yang jelas antara yayasan, pemimpin madrasah,
guru dan staf administrasi, tidak adanya transparansi pengelolaan sumber-sumber
keuangan, belum terdistribusinya peran pengelolaan pendidikan, banyaknya
penyelenggaraan administrasi yang tidak sesuai dengan standar, serta unit-unit
kerja tidak berjalan sesuai aturan baku organisasi.(Masyhud, dkk, 2003: 8, 16).
Selanjutnya perlu di ketahui
bahwa dunia global saat ini ditandai dengan arus pergerakan yang bebas lintas
batas geografis dari barang, jasa, orang-orang, keahlian dan gagasannya. Pergerakan
yang bebas tersebut relative tidak terhambat oleh batas-batas artifisial
seperti tarif. Dunia global ini secara signifikan memperluas dan membuat
lingkungan persaingan semakin kompleks. (Murtha, Lenway & Bagozzi, 1998:
97-114).
Kondisi seperti ini
sesungguhnya menuntut agar ponpes mau dan berani mereposisi diri. Mengingat
eksistensinya menjadi salah satu agant of change masyarakat muslim maka
pihak pengelola/pengasuh ponpes yang ada dalam arus globalisasi ini harus
mempertimbangkan ulang peluang, tantang, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki
ponpes tersebut. Sebab menurut para pakar manajemen strategis seperti Hitt,
Ireland & Hoskisson (2001: 12) bahwa dalam dunia global seperti saat ini
tentu akan memunculkan peluang dan tantangan tersendiri.
Selanjutnya mereka juga
mengatakan bahwa globalisasi adalah penyebaran inovasi ke seluruh dunia dan
penyesuaian politis dan budaya yang menyertai pernyebaran tersebut. Globalisasi
mendorong integrasi internasional. (Hitt,dkk, 2001: 14).
Dengan demikian globalisasi
akan meningkatkan kisaran peluang bagi ponpes-ponpes yang ada sekaligus
berkompetisi di lingkungan persaingan abad 21 di era millennium ketiga ini.
Menurut Hamilton (1999) seperti yang dikutib Hitt,dkk (2001: 16) bahwa dalam
lingkungan persaingan abad 21, daya saing strategis akan didapatkan hanya oleh
mereka yang mampu memenuhi standar global yakni kualitas yang bisa diterima
internasional. Standar ini tidak statis, membutuhkan usaha, memerlukan
perbaikan terus menerus.
Untuk itu menjadi tugas bersama
para pengelola/pengasuh ponpes melakukan upaya dan membuat serta meningkatkan
strategi agar ponpes sebagai institusi pendidikan Islam yang memiliki cirri
khas tersendiri pada saatnya menjadi rujukan umat Islam di dunia. Mereka
kemudian menjadi berpaling menuju ponpes dan menjadikan ponpes sebagai
alternative utama tempat pendidikan masyarakat.
A.
Menakar Eksistensi Pondok Pesantren
Untuk mewujudkan harapan
seperti di atas, bahwa ponpes menjadi alternative utama tempat pendidikan
masyarakat dunia maka para pengelola/pengasuh ponpes saat ini harus mau menakar
akan eksistensi ponpes mereka.
Untuk itu Visi, misi,
tujuan, nilai karakteristik ponpes tentu harus dicanangkan. Studi kelayakan dan
perencanaan strategi juga harus dilakukan. Ini semua merupakan bagian
pengembangan manajemen ponpes yang harus diketahui dan diaplikasikan oleh para
pengelola/pengasuh ponpes yang ada dalam rangka meraih impian yang diharapkan.
Mencangkan visi, misi,
nilai-nilai, tujuan ponpes tentu sangat penting. Hal ini karena keberadaannya
memperjelas arah mana yang hendak dituju, jenis institusi seperti apa yang
mereka harapkan nantinya. Dalam hal ini pakar manajemen dan ekonomi Indonesia
Renald Kasali (2011) mengatakan bahwa organisasi-organsiasi/perusahaan besar
yang memiliki daya saing global memiliki visi yang jelas dan tidak
bertele-tele.
Pertama tentang Visi
Stetemen visi ini
mengisyaratkan tujuan puncak dari sebuah institusi dan untuk apa visi itu
dicapai. Visi yang baik tidak perlu bertele-tele, tetapi harus singkat,
langsung dan menunjukkan tujuan puncak institusi. (Edward Sallis, 2010: 216).
Hal senada juga dikemukakan Reuben Mark, CEO dari Colgate. Ia
menegaskan bahwa visi hendaknya yang jelas dan harus semakin masuk akal secara
internasional, sederhana tetapi membangkitkan semangat. (Brian Dumaine, 1989:
50) Menurut Fred R. David (2002: 83) bahwa pernyataan visi menjawab pertanyaan “Kita ingin menjadi seperti
apa?” dan visi diperlukan untuk memotivasi kerja secara efektif.
Beberapa contoh visi
institusi dalam dunia komersil, “IBM adalah layanan”, Disneyland: “Kami
menciptakan kegembiraan”. Perusahaan computer: “Kami membuat computer
tercepat di dunia”, Perusahaan telekomunikasi: “Pelayanan telepon untuk
setiap orang”. Visi Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy (1961) yakni:
Mencapai bulan sebelum dekade ini berakhir.
Delapan tahun kemudian pada 20 Juli 1969, Neil Armstrong
dan Buzz Aldrin mendarat ke bulan sehingga Amerika merasa percaya diri lagi.
Pada hal sebelumnya Uni Soviet mengejutkan dunia dengan meroketkan satelit ke
orbit Bumi dan Yuri Gagarin menjadi manusia pertama ke ruang angkasa. Pada saat
itu Amerika dan masyarakatnya hanya menjadi penonton dengan takjub dan kagum
serta penuh dengan kekuatiran.
Melihat kondisi sebagian besar ponpes di masyarakat tentu
menjadi menimbulakan keprihatinan dan kekuatiran akan eksistensinya di masa
yang akan datang. Sebab masyarakat ponpes saat ini nampaknya hanya menjadi
penonton yang takjub dan kagum terhadap perkembangan sain dan teknologi serta
belum mampu menjadi produsen yang memberi manfaat bagi masyarakat dunia. Hal
ini seperti yang terjadi pada masyarakat Amerika yang F. Kennedy menjadi
Presidennya tatkala melihat Negara Uni Soviet kala itu. Kalau John F. Kennedy
dengan visinya mampu mengembalikan kepercayaan diri masyarakatnya, tentu para
Kyai pengelola/pengasuh ponpes juga harus bisa.
Kalau Rasulullah Saw mampu mewujudkan masyarakat Madani
yang berperadaban tinggi, maka sebagai pewaris Nabi tentu juga menjadi suatu
hal keharusan pula. Tinggal kita mau dan berani apa tidak melakukan perubahan
dan pengembangan ke arah sana. Mungkin di sini Kementerian Agama RI khususnya
bagian pondok pesantren perlu mencanangkan Visi Besar Ponpes Indonesia yakni Menjadi Sentral Pendidikan Masyarakat
Internasional.
Kedua tentang
Misi
Sementara misi sangat berkaitan dengan visi, memberi arahan
yang jelas baik untuk masa sekarang maupun akan datang serta membuat visi memperjelas
alasan, kenapa sebuah institusi berbeda dari institusi-institusi yang lain,
harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah penting yang dibutuhkan dalam
memanfaatkan peluang yang ada dalam institusi. (Edward Sallis, 2010: 216).
Menurut Fred
R.David (2002: 82-83) pernyataan misi menjawab pertanyaan “Apa bisnis kita?”.
Dari hasil penelitian yang membandingkan pernyataan misi dari perusahaan daftar
Fortune 500 dengan prestasi baik dan perusahaan dengan prestasi jelek sampai
pada kesimpulan bahwa yang berprestasi baik mempunyai pernyataan misi yang
lebih lengkap ketimbang yang berprestasi rendah.
Untuk itu para pengelola organisasi harus berhati-hati
dalam mengembangkan pernyataan misinya. Menurut Edwar Sallis (2010: 217), para pengelola
organisasi dalam menyusun statemen misi hendaknya mengingat beberapa poin bahwa
pernyataan misi:
1.
Harus mudah diingat
2.
Harus mudah dikomunikasikan
3.
Harus memperjelas sifat dasar bisnis
4.
Harus ada komitmen terhadap peningkatan mutu
5.
Harus berupa statemen tujuan jangka panjang dari sebuah
organisasi
6.
Harus difokuskan pada pelanggan
7.
Harus fleksibel
Ada beberapa contoh
statemen misi. Misi Hightown School: “Memberikan mutu pendidikan yang
terbaik kepada para pelajarnya”. Misi Mid-County College of Arts and Teknologi:
“Penyedia utama program-program akademik dan kejuruan bermutu yang fleksibel
bagi lulusan sekolah dan remaja-remaja di wilayah tersebut”.
Ketiga tentang
Nilai-Nilai.
Nilai-nilai dari sebuah organisasi merupakan
prinsip-prinsip yang menjadi dasar operasi dan pencarian organisasi tersebut
dalam mencapai visi dan misinya. Nilai-nilai tersebut mengekspresikan
kepercayaan dan cita-cita institusi. Ia harus singkat padat, mudah diingat dan
harus bisa dikomunikasikan, mengemudikan organisasi dan memberikan arah,
menyediakan tujuan yang konsisten, sesuai dengan lingkungan yang ada,
menancapkan hubungan kuat baik dengan pelanggan maupun dengan staf. (Edwar
Sallis, 2010: 218)
Adapun contoh nilai-nilai:
1.
Kita mengutamakan para pelajar kita
2.
Kita bekerja dengan standar integritas professional
tertinggi
3.
Kita bekerja sebaga tim
4.
Kita memiliki
komitmen terhadap peningkatan yang kontinyu
5.
Kita memberi kesempatan yang sama pada semua
6.
Kita akan memberikan mutu pelayanan tertinggi
Keempat tentang
Tujuan
Setelah visi, misi dan
nilai-nilai telah ditetapkan, ketiganya harus diterjemahkan ke dalam
tujuan-tujuan yang bisa tercapai. Tujuan sering diekspresikan sebagai sasaran
dan cita-cita, diekspresikan dalam metode yang terukur sehingga hasil akhirnya
dapat dievaluasi dengan menggunakan metode tersebut. Tujuan harus realistis dan
dapat dicapai. (Edwar Sallis, 2010:
219)
B.
Pentingnya Studi Kelayakan
Menurut Herry Erlangga (2007) studi kelayakan usaha (feasibility
study of business)adalah suatu penelitian tentang layak tidaknya
suatu usaha dilakukan dengan menguntungkan secara terus menerus. Studi
kelayakan bertujuan
untuk secara objektif dan rasional mengungkap kekuatan dan kelemahan serta
peluang dan ancaman bisnis yang ada atau usaha yang diusulkan.
Untuk itu bagi pengelola/pengasuh ponpes
tentu sangat penting melakukan studi kelayakan ini dalam rangka untuk
mengetahui kelayakan eksistensi ponpes tersebut, lebih-lebih dalam memasuki
abad millennium ketiga ini. Selanjutnya untuk mengetahui kelayakan eksistensi
ponpes di era globalisasi ini maka
dapat menggunakan analisis SWOT yakni :
1.
Strenght
/ Kekuatan
2.
Weakness
/ Kelemahan
3.
Opportunity / Peluang
4. Threat/Ancaman
Hasil Feasibility
Study (FS) pada prinsipnya
digunakan untuk antara lain :
1.
Merintis
usaha baru
2.
Mengembangkan
usaha yang sudah ada
3.
Memilih
jenis usaha atau investasi/proyek yang paling menguntungkan.
Adapun pihak
yang memerlukan FS di antaranya:
1.
Pihak
wirausaha (pemilik perusahaan )
2.
Pihak
investor dan penyandang dana;
3.
Pihak
masyarakat dan pemerintah.
Menurut
Edwar Sallis (2010:
221-222), analisis SWOT sejatinya merupakan alat yang umum digunakan dalam
perencanaan strategis dan merupakan alat yang efektif dalam menempatkan potensi
institusi. SWOT dapat dibagi ke dalam dua elemen yakni analisis internal yang
berkonsentrasi pada prestasi institusi itu sendiri dan analisis lingkungan.
Uji
kekuatan dan kelemahan pada dasarnya merupakan audit internal tentang seberapa
efektif performa institusi. Sementara peluang dan ancaman berkonsentrasi pada
konteks eksternal atau lingkungan. Untuk itu pentingnya pengujian ini (SWOT)
adalah untuk memaksimalkan kekuatan, meminimalkan kelemahan, mereduksi ancaman
dan membangun peluang.
Kebutuhan
pelanggan dan konteks kompetitif tempat institusi beroperasi sesungguhnya
merupakan dua variable kunci dalam membangun atau mengembangkan strategi jangka
panjang institusi. Strategi ini harus dikembangkan dengan berbagai metode yang dapat
memungkinkan institusi/ponpes mampu mempertahankan diri dalam menghadapi
kompetisi serta mampu memaksimalkan daya tariknya bagi para pelanggan, pengguna
jasa, stakeholder. Jika pengujian tersebut dipadukan dengan pengujian
misi dan nilai, maka akan ditemukan sebuah identitas institusi/ponpes atau
karakteristik mutu yang berbeda dari para pesaingnya.