Wednesday, February 29, 2012

KEPEMIMPINAN NAFSU (Dr. Djoko Hartono, M.Ag, M.M)


Berbicara masalah kepemimpinan nampaknya usianya hampir sama dan sudah terjadi sejak adanya manusia hadir di muka bumi, bahkan sebelum diciptakannya makhluk yang satu ini kepemimpinan sudah disebut-sebut oleh Sang Pencipta terlebih dahulu, seperti dialog antara Allah dengan malaikat tentang akan dihadirkan figur manusia yang akan menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi.
Ungkapan ini tentu telah kita jumpai pada semua kitab suci bagi penganut agama samawi (langit). Bahkan disebut-sebut dalam penganut Islam jagad raya ini diciptakan karena Yang Maha Kuasa akan menghadirkan pemimpin yang agung yang dikagumi di dunia Timur dan Barat bahkan seluruh jagad raya, yang beliau ternyata Nabi Muhammad SAW. Bahkan dalam kitab Syajaratul Kaun karya Ibnu Arabi dan Sirrul Asrar karya Abdul Qodir Jailany, Nabi SAW sendiri pernah mengatakan bahwa dirinya sudah menjadi Nabi (pemimpin) ketika masih dalam alam arwah dan Adam masih dalam keadaan diantara air dan tanah.  Hingga kemudian diciptakannya Adam dan Hawa sebagai manusia pertama yang hadir di muka bumi. Inilah yang mengawali proses kepeimimpinan yang dari dirinya lahir anak manusia yang banyak menjadi pemimpin di dunia ini dari golongan para Nabi dan Rasul Allah seperti Ibrahim, Musa, Sulaiman, Daud, Isa, yang kepemimpinan Nabi dan Rasul ini di akhiri Muhammad bin Abdullah SAW. Setelah itu bergulir diganti dengan para sahabat (khulafaurrosyidin) seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan ulama shalihin seperti Umar bin Abdul Aziz, Shalahuddin Al Ayyubi, Harun Arrasyid, dan yang lainnya hingga Ayatullah Komaini yang semua itu merupakan para ulama shalih dan cendikiawan muslim yang ternyata juga menjadi seorang pemimpin.
            Kronologi sejarah kepemimpinan dimuka bumi ini hendaknya perlu diingat kembali oleh rakyat dan bangsa Indonesia yang saat ini lagi aktual membicarakan proses suksesi kepemimpinan nasional, yang agaknya terus dibodohi, didangkalkan dan diombang-ambingkan kelompok tertentu yang anti dan takut hadirnya sosok figur ulama atau cendikiawan muslim menjadi seorang pemimpin di negeri yang besar ini. Rasa ketakutan itu terus dipropagandakan dengan cara membodohi umat dan rakyat yang mayoritas muslim dengan issu yang sudah menasional bahwa kepemimpinan ulama atau cendikiawan muslim tidak pantas di miliki bangsa Indonesia yang plural ini, dan akan lebih pas jika ulama atau cendikiawan muslim itu mengurusi pesantren, memimpin doa, bmemutar tasbih, bancaan, atau mengajar mahasiswa di perguruan tinggi. Hingga sangat ironi sekali sampai muncul komentar dari umat Islam sendiri di media cetak atau elektronika  yang mencerca figur ulama atau cendikiawan muslim yang siap maju mencalonkan presiden, yang sesungguhnya rakyat telah terkena propaganda kelompok yang jika ulama cendikiawan muslim naik menjadi presiden maka kelompok ini tak bisa mengembangkan dan menyuburkan KKN di negeri yang kaya raya ini.
            Untuk itu, sangat penting bagi rakyat Indonesia yang mayoritas muslim mengetahui lebih mendalam akan syarat-syarat figur yang patut dan boleh dijadikan pemimpin seperti yang telah pernah diisyaratkan dan diajarkan rasullulah SAW. Pengetahuan ini diperlukan agar rakyat tidak keliru memilih, akhibat propaganda kelompok yang tidak suka kepeimpinan muslim yang mengedepankan kejujuran dan keadilan. Jika kita menengok pendapat pakar politik dan aliran aqidah Islam Prof. DR. Imam Muhammad Abu Zahro, M.A dalam karyanya Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, maka kita temukan sedikitnya empat syarat yang harus dimiliki seseorang menjadi pemimpin itu yakni pertama, merupakan keturunan suku Quraisy yang jika kita jabarkan bisa jadi keturunan rasulullah atau paling tidak orang yang konsis terhadap ajaran beliau (ulama cendikia muslim); kedua yakni mendapat (baiat) atau dipilih oleh kelompok rakyat; ketiga yakni dipilih dari hasil musyawarah atau pemilu dari calon-calon yang diajukan kelompok-kelompok yang membaiat; keempat yaitu jujur dan adil sebab dengan kejujuran ini maka pemimpin akan berjalan menuju dan menggerakkan roda pemerintahan kearah kebaikan hingga terwujud keadilan dan kesejahteraan disemua golongan lapisan rakyat.
            Sebuah kasuistik yang kebetulan saat ini mencuat hingga mengurbankan capres dari ulama cendikia adalah soal capres cacat yang justru tidak disukai oleh umat Islam sendiri tanpa bermaksud mewajibkan memilihnya dan mengkampanyekannya agar ia dipilih, merupakan satu bentuk perilaku yang sangat disesalkan. Propaganda seperti yang telah ada saat ini betul-betul telah diterima umat Islam yang seharusnya tetap membiarkan capres ulama cendikia ini mengikuti proses seleksi rakyat, yang belum tentu juga terpilih menjadi presiden di negeri ini. Sungguh sikap ini akan menciutkan harapan anak bangsa yang saat ini sedang belajar di SLB dan tentu akan menambah kemalangan nasibnya. Mereka juga akan berfikir bahwa sudah tidak adalah lagi ruang bergerak dan harapan untuk anak-anak yang sedang belajar di SLB dikelak kemudian hari menjadi presiden dan pemimpin di negaranya sendiri. 
            Persoalan yang justru dihadapi umat dan rakyat yang mayoritas muslim ini harus dikembalikan pada ajaran Islam yang telah dibawah Nabi SAW agar umat tidak terus dibodohi, sehingga rakyat mendapat pencerahan dan agar tidak saling menyalahkan yang pada akhirnya terjadi perpecahan.
Sebenarnya kasuistik semacam ini pernah terjadi dimasa Nabi SAW masih hidup yang seharusnya menjadi pelajaran bagi rakyat yang mengaku sebagai muslim. Mengapa tidak, Nabi menunjuk dan menyuruh Ibnu Ummi Maktum yang matanya buta untuk menjadi pemimpin di Madinah. Di saat lain ketika Nabi dalam keadaan sakit dan tak dapat berdiri layaknya para sahabat yang sehat tetap juga menjadi pemimpin ketika sholat. Panglima Besar Jenderal Suderman juga tetap menjadi pemimpin tentara walaupun harus diusung dengan tandu oleh para bawahannya, yang justru oleh umat Islam sendiri persolan kecacatan capres  dipermasalahkan dalam suksesi kepemimpinan saat ini.
Adapun kalau rakyat yang mayoritas muslim ini mengacu pada masa Nabi SAW dan sejarah kepemimpinan dari awalnya hal ini syah-syah saja. Demikian pula pemimpin dalam urusan agama atau dalam keadaan cacat asal memiliki kemampuan jika dipih rakyat banyak untuk menjadi pemimpin disuatu negara, maka seharusnya tidak boleh ditolak.
            Untuk itu jika rakyat yang mayoritas muslim tidak segera mereposisi keputusan yang imgkar sunnah ini pada akhirnya bisa mewujudkan suksesi kepemimpinan dan membuahkan pimimpin yang mengedepankan nafsu, yang tentu akan bersikap seperti Fir’aun-Fir’aun dimasa Musa AS. Kalau memang ini harus terjadi maka benarlah forcasting para ulama khos yang mempridiksi bahwa kepemimpinan yang keenam ini akan terwujud kepeimpinan nafsu.
Analisis ulama khos ini tentu bukan tanpa dasar dan pijakan. Berlandaskan anasir tujuh unsur yang ada dan dimiliki manusia ini, maka yang keenam adalah unsur nafsu, sedang yang pertama body fisik (figur Soekarno-peletak pondasi), kedua roh atau jiwa (Soeharto-penerus dan menghidupkan), ketiga akal (Habibi), keempat hati (Gus Dur), kelima perasaan (Mega) dan ketujuh adalah nurani (satria panandita sinisihan wahyu).
Adapun kepemimpinan nafsu yang menjadi analisa ini kalaupun rakyat yang mayoritas mau kembali kepada sunnah maka yang akan muncul tentu bukan pemimpin yang dikendalikan nafsu negatif tapi sebaliknya tentu akan diwarnai dengan nafsu positif (mutmainnah), yang dengannyalah akan terjadi gerakan yang mengarahkan pemerintahan dengan bertujuan menciptakan kesejahteraan dan keadilan disemua lapisan dan golongan masyarakat, sesuai dengan cita-cita reformasi. 
 
Copyright 2011 @ PONPES MAHASISWA JAGAD 'ALIMUSSIRRY !