Saturday, March 3, 2012

ANDIL KYAI & UMARO DALAM KETERPURUKAN OUT PUT INSTITUSI ISLAM (Oleh : Dr. Djoko Hartono, M.Ag, M.M)


Berbicara masalah pendidikan barangkali usianya sama tuanya dengan adanya manusia itu sendiri. Bahkan proses pendidikan dan pembelajaran itu sendiri diindikasikan dalam kitab Al-Qur’an, telah berlangsung sebelum Allah menurunkan Adam sebagai manusia pertama di muka bumi. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Islam didalam memperhatikan tentang pendidikan benar-banar memberikan porsi yang sangat krusial dan serius.
            Indikasi bahwa proses pendidikan sebenarnya sudah berlangsung sebelum manusia di hadirkan dimuka bumi ini dapat kita ketahui dalam Q.S. Al-A’raf 172, dimana kalau kita cermati ayat ini memberikan deskripsi proses pendidikan dan pembelajaran tentang ketahuhidan yang dilakukan Allah sendiri kepada seluruh manusia ketika masih di alam ruh dengan mempersaksikan bahwa Allah sebagai Tuhannya yang saat itu dijawab dan diakui seluruh manusia yang dengan harapan agar nantinya manusia ketika sudah dihadirkan di muka bumi tidak menuntut karena belum pernah diajarkan dan diinformasikan kedudukan sebagai hamba yang harus mengabdi kepada Allah sendiri. Demikian pula dalam Q.S. Al-Baqorah 31 kita dapat memperhatikan bagaimana proses pendidikan dan pembelajaran diberikan kepada Adam ketika berada di alam surga akan ilmu-ilmu yang bersifat aqliyah yang di dunia nantinya disebut sebagai ayat kauniyah atau yang bersifat ilmu profan (nama benda-benda).
             Dengan demikian menjadi jelas bagi kita sejak awalnya perhatian Islam terhadap pendidikan telah mendapat perhatian serius, tidak hanya menyangkut ilmu yang bersifat ketauhidan tetapi juga yang bersifat kebendaan keduniawian dan telah diajarkan semenjak manusia belum hadir dimuka bumi. Dan hal itu tentu terus di bawah para nabi dan rasul, sejak Adam sebagai Nabi pertama hingga di tutup rasulullah SAW yang menjadi figur pilihan Allah untuk menjadi Agent of social change  dengan memberikan proses pendidikan dan pembelajaran sebagai media untuk menata dan mewujudkan masyarakat yang memiliki sosio kultural berperadaban dan berbudaya yang mapan di tengah-tengah alam materi dan keduniawian ini.
            Pada awal masa perkembangan Islam yang dibawah Nabi Muhammad Saw pendidikan yang sistematis formal nampaknya belum terselenggara, sebab pendidikan yang berlangsung saat itu pada umumnya dapat dikatakan masih bersifat informal yang berkaitan dengan upaya-upaya dakwah islamiyyah. Dan hal itu berlangsung di rumah sahabat nabi. Baru setelah masyarakat islam terbentuk maka masjidlah yang kemudian menjadi pusat kajian. Sedang proses pendidikan formal pada masa lebih belakangan saja baru muncul dengan kebangkitan madrasah sebagai institusinya, seperti Madrasah Miyan Dahiyah yang didirikan Abu Ishaq Ibrahim ibn Mahmud di Nashapur 2 abad sebelum Nidhomiyyah, Madrasah Sa’idiyah pada masa Sultan Mahmud Al-Ghaznawi yang berkembang 165 tahun sebelum Nidhomiyyah, serta Madrasah Nidhomiyyah itu sendiri (1064) yang dikenal madrasah Nidhom Al-Mulk (Bulliet, 1972) hingga kita kenal lembaga-lembaga pendidikan formal saat ini.
             Indonesia yang notabene memiliki masyarakat religius yang mayoritas penduduknya muslim nampaknya belum boleh berbangga diri. Sebagai negara yang memiliki wilayah dan penduduk yang sangat besar nampaknya masih perlu mereposisi institusi islam yang ada. Betapa tidak, jika kita amati lembaga pendidikan kita pada kenyataannya masih mandul dan belum mampu eksis sebagai institusi yang menunjukkan tujuan dan cita-cita yang islami secara kaffah. Terwujudnya sistem pendidikan saat ini karena umat islam khususnya pembuat kebijakan masih memandang sebelah mata terhadap pendidikan islam yang disebabkan sempitnya pemahaman terhadap pendidikan islam karena masih terilhami model-model madrasah yang muncul pada awal kemunculan yang silam di Timur Tengah.
            Dalam pandangan  Makdisi dan Stanton institusi islam sejak awalnya belum dan tidak pernah menjadi The institutional of higher learning  atau difungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar kecuali sebelum kehancuran aliran theologi Mu’tazilah, sebagaimana terdapat di Eropa pada masa modern. Namun sebaliknya institusi islam sejak awalnya hanya memposisikan diri sebagai (the guardian of God’s given law) pemelihara hukum  yang diwahyukan Tuhan yang senantiasa mengabdikan kepada ilmu-ilmu agama dengan penekanan pada kajian fiqihiyyah, tafsir, dan hadits yang terbatas pada ijtihad teori yang itu dipandang banyak mendatangkan pahala, jalan cepat masuk surga dan belum sampai pada implementasi praktek nyata. Sedangkan sisi lain dari ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan (profan) seperti ilmu alam, eksakta yang merupakan akar pengembangan sains dan teknologi ditempatkan dalam posisi yang marjinal dan dianggap makroh untuk tidak menyatakan haram. Padahal jika kita cermat pentingnya mempelajari sains ini mendapat justifikasi dalam Al-Qur’an (QS. Ar-Rahman : 33 ) Untuk itu mempelajarinya bisa jadi memiliki nilai yang sebanding dengan mengkaji tafsir al-qur’an itu sendiri, yang bersifat kontektual dan empiris.
            Adapun kemajuan sains yang mencapai puncaknya pada masa keemasan islam dulu hampir dipastikan itu muncul bukan karena kurikulum madrasah-madrasah yang ada. Akan tetapi kemajuan sains itu lebih merupakan hasil pengembangan dan penelitian individu-individu ilmuwan muslim yang didorong semangat (scientific inquiry) penyelidikan ilmiah, guna membuktikan kebenaran ajaran-ajaran Al-Qur’an, terutama yang bersifat kauniyah.  Demikian menurut penelitian Stanton dan Makdisi.
            Meskipun Islam pada dasarnya tak membedakan nilai ilmu-ilmu agama dengan ilmu-illmu non agama (umum ), tetapi dalam prakteknya masih banyak masyarakat yang mayoritas muslim di negeri ini, pembuat kebijakan bahkan para ulama (kyai) yang masih berfikir konservatif memandang dan membedakan keduanya bahkan mereka semua masih memberikan supremasi ilmu-ilmu agama sebagai hal yang lebih afdhol ketimbang ilmu-ilmu yang bersifat profan. Anehnya pandangan ini tetap dipertahankan masyarakat, pembuat kebijakan dan sebagaian ulama negeri ini di tengah-tengah keinginannya untuk mendongkrak keterpurukan dunia pendidikan kita yang ada. Hal ini disebabkan sikap keagamaan dan kesalehan yang memandang ilmu-ilmu agama sebagai Jalan Tol menuju Tuhan. Dan ilmu-ilmu profan hanya menjadi penyebab jauhnya seseorang dari Tuhan. Sungguh suatu cara pandang yang tidak menujukan kekaffahan dalam memahami ajaran islam yang ada.
            Cara pandang para ulama (kyai) yang terimplementasi dengan memberi pencerahan pada umat serta penjustifikasian umaro sebagai pembuat kebijakan berujung pada pendangkalan nalar dan membuat masyarakat harus puas dengan aktivitas rutin dengan pengkajian tafsir Qur’an dan Hadits yang bersifat teoritis tekstual, pengajian kitab-kitab kuning dan istighotsah. Kesemuanya itu dilakukannya bertahun-tahun yang pada akhirnya menjadi melembaga baik secara formal ataupun nonformal tanpa ada implementasi dalam karya nyata dalam penelitian dan pengembangan serta penemuan baru terhadap sains dan teknologi yang sesungguhnya semua itu harus menjadi budaya umat islam sebagai amaliyah shaleh yang bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum serta sebagai fasilitas untuk mempermudah manusia mendekatkan diri dan menuju kepada Allah tentunya.
            Akhibat dari rasa puas dengan aktivitas rutin seperti di atas membuat ilmu-ilmu yang bersifat profan terabaikan serta masyarakat jatuh dalam kepasifan dan menjadi tidak bergairah bahkan tidak berdaya menghadapi era sains dan teknologi yang ada selama ini. Terwujudnya out put institusi islam menjadi sumberdaya manusia  seperti ini tentunya tidak lepas dari andil para ulama (kyai, ustadz) sebagai pendidik serta figur yang fatwa dan nasihatnya mendapat tempat di hati dan mempengaruhi prilaku cara bertindak banyak umat islam, dan pembuat kebijakan (umara) sebagai penjustifikasi legal, yang keduanya masih berfikir konservatif  terilhami paradigama lama pada institusi islam masa awal berdiri di Timur Tengah yang hanya berfungsi sebagai the guardian of God’s given law,   dimana keberadaan ulama (kyai) dalam masyarakat yang paternalistik memiliki kedudukan yang tidak bisa diabaikan, apalagi mendapat justifikasi dari umara yang sedang berkuasa sebagai pembuat kebijakan. Untuk itu diperlukan keberanian para ulama (kyai) untuk merekonstruksi cara pandang sebagai pencerah umat serta umara sebagai pembuatan kebijakan yang ada dalam rangka mengembalikan keterpurukan out put dari institusi islam yang ada selama ini, sehingga nantinya terwujud masyarakat islam yang memiliki sumberdaya manusia yang aktif, dinamis dalam memasuki era sains dan teknologi seperti saat ini.  
 
Copyright 2011 @ PONPES MAHASISWA JAGAD 'ALIMUSSIRRY !